Satu Menggenapkan, Dua Melenyapkan

A Quote by: Dee Lestari

Kami menamai diri sebagai Pencinta Hujan. Sekumpulan orang yang akan menggila bila hujan datang, dengan tatapan penuh kasih mendekati kaca nako demi bisa mendapat gemericik airnya. Sekoloni manusia yang begitu menikmati ritme rintik hujan yang jatuh ke atas genteng atau ke tanah, aroma petrichor, diwarnai obrolan yang tidak pernah jauh dari urusan hujan. Atau yang rela hujan-hujanan ketika gerimis menyirami bumi seperti batita yang baru melihat air. Kami akan berada di garda terdepan sebagai pihak yang membela hujan tiap orang-orang menyumpah-serapahi banjir.

Tiga lelaki dan empat orang perempuan, cukup bagi kami membentuk komunitas ini. Dengan aku sebagai member paling bontot, sekaligus satu-satunya yang berdiri tunggal.

Bukan rahasia lagi bila komunitas kami memiliki peran ganda sebagai ajang cari jodoh. Empat di antara kami telah menjadi dua pasang suami-istri. Satu pasang lagi masih berstatus pacaran.

Sementara aku, sendirian.

Sejatinya, aku tak semengenaskan itu. Aku punya pacar, seorang pemuda di luar komunitas ini. Alih-alih seorang pencinta hujan, ia malah suka melempar keluhan bila aku sudah keterlaluan menggila dengan tetesan air langit. Meski demikian, lelaki itu juga yang dengan sabar mendengar bila aku berkisah soal komunitas kami, tidak pernah lelah merawatku yang tinggal sendiri manakala aku terjangkit demam dan flu karena rajin hujan-hujanan, dan tidak pernah alpa mengabariku bila menemukan segala sesuatu tentang hujan; entah novel, entah film, atau pernak-pernik.

Semua itu sudah cukup bagiku, sebelum pemikiranku teracuni oleh omongan teman-teman satu komunitas.

“Kamu emang kenapa sih, nggak coba cari pacar dengan minat dan hobi yang sama?”

“Iya, emang kamu nggak mikir kalau hujan-hujanan berdua itu romantis, tanpa ada keluhan dari kamu atau si doi?” timpal yang lainnya.

“Bikin aja si Ardan jadi suka hujan. Ajak dia gabung ke komunitas kita, ya kali kita bisa multiple date bareng.”

Multiple date? Emang ada?” Kemudian kami terbahak, namun hatiku tidak.

Begitu pulang, aku langsung rebah. Otakku melayang, memikirkan obrolan kami tadi sore. Bukannya tak pernah kucoba memaksa Ardan untuk bisa melihat hujan sebagaimana kami melihat. Hal itu sudah kulakukan berkali-kali. Namun sayang, Ardan tetaplah Ardan yang necis, yang klimis, yang tak sudi berbasah-basahan demi minat konyol, tak rela memburu hujan seperti orang sinting, dan tak mau memandang hujan seolah ada permata turun dari langit. Baginya, ia cukup menghargai apa yang kusuka, tanpa harus ikut menyukai.

Bayangan kami sama-sama meminati hujan pun bukannya tidak pernah terlewat di dalam angan―sering malah, ketika melihat ketiga pasangan itu romantis bersama sedang aku hanya mengagumi hujan sendiri dalam hati.

Katakanlah aku kekanakan, tetapi di lubuk hatiku yang dalam, aku pun ingin sewujud keromantisan berbalut hujan.

Hari ini pertemuan kami yang ke sekian kali. Seperti biasanya, aku akan selalu jadi orang pertama yang mendatangi kafe ini, duduk di kursi yang sama, menanti ketiga ‘pasangan hujan’ itu menyusul ke mari. Sembari menyesap secangkir cokelat hangat dalam diam, kusapukan pandangan ke bagian luar kafe melalui kaca jendela. Awan kelabu telah mendekat, dan aku tersenyum simpul.

November selalu menjadi bulan yang paling teduh dari satu siklus musim penghujan, sebab Oktober masih sering diwarnai perubahan cuaca yang mengejutkan, sedangkan Desember selalu jadi waktu tersibuk sehingga hujan jadi numpang lewat.

Ketiga pasang manusia itu datang berbarengan, tak seperti biasa. Membuatku mengajukan pertanyaan sekaligus peryataan beraroma keheranan, “Tumben?”

“Kami nggak sengaja ketemu di tempat parkir tadi. Terus, masuk ke sini bareng-bareng, deh.”

“Oh, iya. Aku bawa satu anggota komunitas yang baru, nih.”

Saat itu, aku baru menyadari ada tujuh entitas yang berdiri di depanku. Salah satunya tampak asing dalam balutan kemeja biru, celana kain dan sebuah kacamata bertengger di wajahnya.

“Rian.” Jabatan tangannya mantap dan tegas.

“Vania.” Kupoles senyum seramah mungkin.

Entah hanya perasaanku, atau memang demikian adanya, sempat kutangkap kilatan aneh di mata ketiga pasang manusia yang berdiri di depan kami.

“Van, si Rian ini juga lulusan teknik informatika, tuh. Kali aja kalian berdua nyambung kalo ngobrol soal kerjaan atau minat masing-masing.”

Aku melebarkan bola mata, “ Oh, ya?”

“Begitulah. Saat ini saya seorang web developer.” Secarik kartu nama disodorkan. “Mbak Vania kerja di mana?”

“Saya 3D artist. Baru kerja juga tahun ini, sih. Makanya masih jadi anak bawang dulu.”

Fresh graduate, ya?”

Aku terkekeh, “Begitulah.” Kusesap cokelatku yang tinggal sedikit. Di luar, hujan sudah turun.

“Wah, hujan.” Dan baru pada detik itu, kami menyadari keenam manusia lainnya yang mestinya duduk di meja kami kini telah berpindah ke meja seberang.

“Lho, kok kalian di situ?”

“Udah, terusin aja ngobrolnya. Tuh, udah hujan.”

Aku tidak tahu apa yang aneh. Rasanya tingkah mereka agak menyebalkan. Namun, derai hujan yang turun dan nampak dari kaca jendela di sebelahku mengalihkan atensiku segera.

“Kamu kenapa bisa suka hujan?” Suara Rian terdengar kembali. Kutoleh wajah ke arahnya, dan mendapatinya tengah memandangi hujan, dengan tatapan penuh cinta.

Dan aku merasa ada gelanyar aneh di dadaku.

“Van?”

“Eh, ya?”

“Kok malah bengong? Tadi saya nanya, kamu kenapa bisa suka hujan?”

“Oh ….” Aku tersenyum. “Nggak tahu sih, kenapa. Dari kecil udah suka banget main hujan. Dan itu terbawa sampai tua begini. Sampai sering dibilang nggak inget umur,” jelasku sembari terkekeh. “Kamu sendiri?”

“Hmmm…, sama. Saya juga cuma suka aja. Tanpa sebab. Tiba-tiba. Yang saya ingat, satu hari di masa lalu entah kapan tepatnya, saya melihat hujan itu berbeda. Seperti tumpahan berkah Tuhan dari langit. Seperti… keajaiban.”

Aku tidak tahu apa sebabnya, entah caranya menyampaikan, entah kata-katanya, entah nada suaranya, atau karena derai hujan yang menjadi suara latar kalimatnya, aku seolah tersihir.

Sejak saat itu, tanpa ada yang memulai, kami menjadi dekat. Dan aku sama sekali tidak tahu bahwa perasaan ingin sesuatu yang lebih itu mengerikan.

Kami menamai diri sebagai Pencinta Hujan. Sekumpulan orang yang akan menggila bila hujan datang, dengan tatapan penuh kasih mendekati kaca jendela. Menikmati ritme rintik hujan yang jatuh ke atas genteng atau ke tanah, aroma petrikor, dengan obrolan yang tidak pernah jauh dari urusan hujan. Atau yang rela hujan-hujanan ketika gerimis menyirami bumi seperti batita yang baru melihat air. Kami akan berada di garda terdepan sebagai pihak yang membela hujan tiap orang-orang menyumpah-serapahi banjir.

Empat lelaki dan empat orang perempuan, cukup bagi kami membentuk komunitas ini; ekstra satu orang yang selalu membuatku enggan absen dari pertemuan:

―Rian.

Malam itu, tanpa hujan dan tanpa keenam personil lainnya kami bersua di kafe yang sama, tempat duduk yang sama, dan dalam keadaan hati yang sama. Saling mendinginkan kepala satu sama lain dengan berbagi cerita mengenai hujan atau apapun usai sama-sama dipusingkan seharian oleh rutinitas kerja yang padat dan panas.

Dengannya, kuresapi kebenaran omongan para anggota Pencinta Hujan, bahwa memiliki kekasih yang sehobi dan seminat adalah yang hal yang tak mampu terdefinisikan nyamannya. Indahnya. Kuresapi kebenaran betapa bebas dan lepasnya diriku berceloteh soal manisnya hujan, soal lembutnya angin dan soal gagahnya petir dan mendengar balasan yang kuharapkan. Tanpa perlu merasa segan.

Ardan masih ada. Masih suka menyahut malas bila kuceritakan panjang lebar soal yang sama. masih tak pernah alpa mengurusiku ketika aku sakit karena kegemaranku hujan-hujanan. Masih suka mengabariku bila mendapat info soal apapun yang beraroma hujan.

Keenam orang pasangan hujan sudah mulai menceramahiku untuk memilih, namun aku merasa tak ada yang harus kupilih. Aku mencintai Ardan dan menyayangi Rian. Keduanya berbeda, dan mereka berdua bukan piliihan. Mereka adalah satu paket cinta yang dihadirkan untukku.

Malam ini, keegoisanku menemui akhir.

Rian, dengan perangainya yang selalu romantis, mengelus punggung tanganku dan berkata betapa ia bersyukur bisa bertemu denganku.

Aku, sambil tersipu penuh haru, menyatakan aku juga mensyukuri hal yang sama.

Lalu Ardan, datang tiba-tiba, menghantam wajah lelaki berkacamata itu dan menangis di depanku.

Lalu aku ikut menangis.

Rian pun menangis.

Semuanya terlalu cepat untuk dikisahkan, namun satu keputusan yang kami ambil saat berunding bertiga usai keributan yang kami timbulkan di kafe itu, tak menyisakan apa-apa untuk kugenggam.

Tak ada komunitas pencinta hujan. Tak ada yang akan menyahut malas bila aku bercerita soal hujan, mengurusiku saat aku sakit, dan memberiku info tentang apapun soal hujan. Tak ada yang bersamaku mencipta keromantisan kala berdua memandang hujan.

Masih di kafe yang sama, secangkir coklat panas yang sama, dan derai hujan yang sama. Aku menghabiskan waktuku menikmati hujan, sendiri.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s