Budak Melanin

Prompt: Big Black



“Aku sudah berjemur delapan jam tanpa tabir surya,” keluhku begitu membanting tubuh, “tapi kulitku tidak hitam-hitam juga!”

Kholwa, yang beruntung terlahir berkulit gelap, tertawa-tawa sambil mengunyah Oreo-nya. “Coba lagi besok-besok.”

Andai Kholwa tahu betapa aku iri padanya. Dengan privilese rasnya, Kholwa lolos audisi ke mana-mana. Pemotretannya berjalan selancar aliran angin di musim gugur. Wajahnya menempati majalah-majalah, juga sinetron. Baru-baru ini dia ditawari bergabung dalam film layar lebar. 

Aku? Jangankan pemotretan. Mendaftar jadi barista di kafe seberang jalan saja tidak diterima dengan satu alasan: kulitku.

Kulitku terlalu putih. Pucat seperti tulang tanpa kulit. Publik menjuluki orang-orang sepertiku dengan julukan ‘mayit’.

Padahal kuharap minimal ia berangsur jadi cokelat. Tidak perlu sehitam Kholwa, cukup seperti warna kopi susu. Dengan demikian, minimal aku bisa mendapatkan pekerjaan sebagai barista kafe.

Berbagai upaya telah kukerahkan. Berjemur dari pagi hingga siang. Membaluri sekujur tubuh dengan lulur jelaga, produk yang digadang-gadang mampu menghitamkan kulit dengan melanin alami, yang kubeli dengan berutang pada Kholwa. Semuanya tidak kunjung berhasil. Kulitku akan kembali ke warna aslinya, tak kurang dari dua setengah jam.

Satu-satunya cara yang bisa kupakai hanyalah memupuri wajah dengan bubuk hitam, yang bakalan meluntur kena keringat pun air hujan. Setidaknya, aku tidak akan seberapa dihina karena pucatnya kulit asliku akan menuai julukan ‘hantu’, ‘mayit’, atau ‘tulang berjalan’.

Kubalik tubuhku kembali menghadap Kholwa yang masih asyik menyantap Oreo.

“Kholwa,” kupanggil ia ragu-ragu. Ia hanya menyahut dengan gumaman.

“Utangku ke kamu sisa berapa, ya?”

Barulah Kholwa menurunkan tablet majalahnya. Irisnya yang seperti malam tanpa bintang—alami, tidak sepertiku yang harus mencekoki rongga mata dengan lensa kontak demi warna legam secantik itu—terdorong ke atas. Jelas ia sedang berpikir dan menghitung di dalam benaknya yang membentangkan rumus penjumlahan dan pengurangan hingga langit-langit.

“Sudah cukup banyak yang terbayar.”

“Tapi masih banyak yang perlu kubayar, bukan?”

Kholwa berpikir lagi. Kali ini dengan ekstra suara “Nggg ….” panjang. Jika dilakukan di luar sana, akan dibanjiri pujian, penggemarnya menggila lalu bersorak, ‘Kholwaaa imut sekali! Benar-benar Dewi yang merepresentasikan keindahan malam!’

“Lumayan. Memangnya kenapa?”

Inilah satu lagi privilese rasial kaumnya, mereka punya otak yang cerdas. Konon, genetika mereka sejak tahun 2024 yang adalah lima ratus tahun silam itu, telah dilimpahi IQ setinggi angkasa. Kholwa berdarah murni. Tidak ada gen campuran di dalam dirinya, sebab nenek moyangnya mengharamkan pernikahan berbeda ras. Jadi, nasabnya bisa ditelusuri dan sampai buyut keseratussatunya pun, mereka orang kulit hitam.

Andai punya kemampuan time travel, akan kuhampiri nenek moyangku di masa itu, guna memberi saran futuristis: menikahi orang kulit hitam. Hal yang kusesali dari mereka adalah keegoisan mempertahankan kulit pucat padahal sudah banyak tanda-tanda dunia akan dikuasai kaum Kholwa.

“Aku bisa pinjam uangmu lagi, nggak?” Kusodorkan padanya laman majalah mode yang kubaca. Ada iklan yang mempromosikan jasa suntik melanin. “Aku siap menjadi budakmu, kok.”

Tinggalkan komentar