Kondisi dan latar belakang orang boleh jadi berbeda. Tapi makna cinta selalu sama. Semua orang akan berusaha membuat yang dicintainya berbahagia.
Tebing
Waktu jadikan kita dua tebing. Terpaut laut, mengangalah malam dan malang. Angin satu-satunya tukang pos yang menghantarkan rasa: ingin yang mendingin.
Pagi di Rumah Lagi
pagi-pagi sekali, secawan madu disajikan dalam tumpah ludah ayah di ujung meja makan. padahal, di sekitar kursi-kursi tengah berantakan: puing-puing dan sisa-sisa rencana hidup yang sudah diobrak-abrik kenyataan. huh, tak ada waktu lagi untuk menyusun ulang. ini dua puluh empat jam sebelum detik penentuan. walhasil, adik menangis, kakak meringis, ibu mengiris-iris, aku merasa miris. … Lanjutkan membaca Pagi di Rumah Lagi
Pekarangan yang Memerdekakannya
Petang ini duka memang sedang senang bertandang, menyambangi halaman rumah kita yang baru saja berbenah dari suka. Rumput-rumput liar di pagar meringis miris, merunduk tunduk, beri jalan bagi kehilangan. Demi Agustus, masih mengendap wangi sitrus, masih menetap warna pirus. Sementara bendera-bendera yang kemarin bertengger di puncak, diturunkan separuh tiang. Kebitannya adalah lambaian, langgam perpisahan bagi … Lanjutkan membaca Pekarangan yang Memerdekakannya
senja
ada senja yang menggelantung di katamu, sebentar lagi akan turun malam. aku terjebak antara indah dan pisah. harapan untuk tetap dalam jingga ini jelas hanya kosong saja. gelap yang sepi akan membungkusku lagi dan lagi. yang ditangguhkan pun tetap akan jumpa pada kelanjutan. di situ kau ajarkanku bahwa warna itu nisbi. merah belum tentu rekah … Lanjutkan membaca senja
konsekuensi
tuan, pernah saya menggigit cabai yang sengaja saya masukkan sendiri dalam mangkuk sup sarapan pagi. hanya demi rasa lebih istimewa, saya rela lidah menyesap sensasi terbakar. konsekuensi lanjutannya, saya harus menenggak air segalon sampai perut ini begah. tuan, sepekan lalu, saya dipatuk ular yang sengaja saya pelihara dalam rumah sendiri. hanya demi peliharaan istimewa, saya … Lanjutkan membaca konsekuensi
Hitam Itu…
Hitam itu legam, hitam itu malam. Ada rasa iri yang menahun bercokol, terbenam, lalu timbul lagi hanya karena kebiasaan membandingkan penderitaan dan keberuntungan. Aku tahu, semua orang dilahirkan dengan jalan masing-masing. Punya rezeki masing-masing. Mungkin aku melihat kesempurnaan dari orang lain, hanya karena mereka menyembunyikan kecacatan di balik sepuhan. Hitam itu kelam, hitam itu balam. … Lanjutkan membaca Hitam Itu…
orang bodoh
Bekerja atau hidup dengan orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya adalah neraka. Kekesalan berulang yang menggerogoti kewarasan. Orang bodoh yang tidak merasa dirinya bodoh adalah spesies paling bebal di muka bumi. Apalagi jika kebodohan mereka membuat mereka memaksakan kebodohan lain pada sekitar.
Amuk
Ada badai yang mengamuk dalam heningnya malam. Saat semua mata memilih pejam untuk beristirahat, badai itu menjerat satu entitas dalam sekarat yang makin lama makin berkarat. Kepadanya, terbanglah undangan bertengkar, melalui pikiran-pikiran; melandaskan teriakan-teriakan yang ia sendiri tak tahu asalnya dari mana. Mungkin dari kepalanya sendiri yang selalu berbisik berisik selagi mulutnya sibuk membungkam. Bising … Lanjutkan membaca Amuk
Menuliskan Siklus Mala
Bebunyian merebak. Ledakan, lalu jeritan, dan tangisan. Erangan-erangan berkepanjangan. Berkelanjutan. Tiada penghabisan. Derap kaki telanjang menyusul kemudian. Menjauhkan diri dari tumpahan kedukaan. Menjatuhkan diri ke dalam tumpahan kedukaan. Kaki itu tak luput dilahap genangan. Kemudian lenyap dan kehilangan. Menciptakan lebih banyak bebunyian. Ledakan, lalu jeritan, dan tangisan. Erangan-erangan berkepanjangan. Bekelanjutan. Tanpa ada penghabisan. Bau darah … Lanjutkan membaca Menuliskan Siklus Mala
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.