Apa-apaan?

Jumlah Kata: 449

Prompt: Rok Mini



“Apa-apaan baju-baju panjang ini?!

Barangkali panas yang terjebak dan mengukus dagingnya membuat Aurora muak. Muak melihat gaun-gaun yang rutin membungkus tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Di musim panas, kenapa mereka harus terkurung dalam ‘tenda berjalan’ yang selamanya menempeli diri, laksana siput memikul cangkangnya?!

Lihat Aurelio. Bebas keluyuran tanpa penutup bagian atas. Bergabung dengan pemuda-pemuda lain, bermandikan sinar matahari yang menguapkan cairan tubuh dalam kemerdekaan. Tanpa ada bagian tubuh yang dikukus karena panas yang terperangkap.

“Itulah risiko jadi perempuan,” Aurelio berkhotbah. “Seluruh tubuhnya aurat. Tidak boleh terlihat, demi keamanan kalian. Repot kalau bikin laki-laki konak. Diperkösa, nanti nangis-nangis.”

“Memang siapa yang minta diperkösa?!” Aurora murka. “Buka baju ke mana-mana begitu, kamu minta orang menggrepe tetemu?”

“Lha, kami beda. Kalian itu ujian bagi kaum Adam.”

Aurora muak sekaligus tidak mengerti. Kota Megalopolis terlalu pakem untuk dia yang haus akan makna dan arti. Kenapa perempuan-perempuan harus hati-hati. Kenapa mereka terbelenggu aturan-aturan patriarki. Kenapa baju panjang mereka ada hanya demi menjaga diri dari bangkitnya kelamin lelaki.

Ini penjajahan hak asasi!

Aurora menuntut kemerdekaan yang sepadan. Paradigma dunia tercipta untuk para kaum berpenis harus dihapuskan.

Diambilnya gunting. Dipangkasnya baju-baju dan rok-rok miliknya. Hanya perlu menutup sesuatu yang perlu ditutup. Kulit mereka juga berhak dikecupi sinar matahari pagi.

Yakin, Aurora melangkah. Kaki jenjangnya, sebagian pahanya, lengannya, rambutnya, kini terbiar diekspos seperti bendera perlawanan.

Perempuan-perempuan lain memandangnya seperti memandang orang gila. Aurora tak peduli, memang sulit mengajak manusia gua untuk keluar melihat keindahan pantai. Aurelio dan laki-laki lain yang menatapnya dengan bola mata seakan hendak mencelat, dipandangnya balas. Setengah galak, setengah takut. Tinju terkepal, siap-siap menghajar.

Namun, tidak ada kaum Adam yang berani mendekat.

Langkah Aurora berangsur meringan. Lambat-laun, perempuan-perempuan lain tergoda melihat kebebasan Aurora. Satu-satu mengekori pergerakannya. Satu-satu memangkas gaun-gaun panjang mereka. Satu-satu mengekspos diri ke depan dunia.

Aurora tersenyum bangga.

Biru menjadi merah. Kuning menjadi hijau. Hitam menjadi putih. Bumi berputar dan masa dibalik.

Senyum Aurora menyurut, berganti kerut keheranan.

“Kamu pakai ini saja, Aurora. Ini akan lebih menampakkan paha mulusmu. Bokong sintalmu juga jadi terlihat lebih padat.”

Aurora melongo saat Aurelio menyodorkan satu set pakaian mini ke arahnya.

Lelaki itu mundur, menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan antusias, duduk dengan para lelaki lain di bangku-bangku berderet seperti tribun. Pandangan mereka menjurus ke satu arah, sementara para perempuan berbusana minim mendekat, memijat pundak, mengipas-ngipas, menyodorkan limun, menyorongkan dada, membuka lebar paha.

Belum sempat tanyanya tersahuti, Aurora dibuat kian melongo. Di atas panggung, perempuan-perempuan berbusana minim lainnya mondar-mandir berlenggak-lenggok. Kamera-kamera gesit memotret. Dari bawah, seruan-seruan kawanan Aurelio terdengar.

“Kiw, kiw! Coba pose lain, pose lain—ah, segarnya.”

Pemikiran Aurora melompong. Sejak kapan semua ini berubah? Bagaimana bisa langkah yang awalnya menjadi simbol kebebasan, berubah menjadi senjata yang memperkuat dominasi lelaki atas perempuan?

Apa-apaan baju-baju pendek ini?!

Tinggalkan komentar