Ada rasa bangga yang membucah dalam diriku manakala kepalaku membersitkan pemikiran seperti itu.
Dengan menafikan semua kemungkinan lainnya, aku merupakan satu-satunya yang bisa kau perlihatkan tampang naturalmu.
Tanpa mempedulikan wibawamu, citramu, atau apa pun yang biasa mereka julukkan untuk menyebut segala sesuatu yang berkisar pada penilaian manusia terhadap manusia yang lain.
Kau telanjang. Tanpa kepura-puraan. Hanya di depanku.
“Aku lelah.”
Suaramu memecah keheningan antara aku dan kau. Kutatap dalam-dalam wajahmu. Yang rapuh, yang letih, yang lesu. Terbalik seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan apa yang kautampakkan sekian menit silam, di hadapan mereka yang mengagulkan diri sebagai sahabat-sahabatmu.
‘Ya, aku tahu.’
Tanpa bisa menghilangkan perasaan menang, kusami perasaaanmu. Aku tahu persis bahwa yang kau perlukan hanya kesendirian. Hanya kesunyian. Hanya keheningan. Tempat di mana kau bisa menjadi dirimu sendiri, tanpa tuntutan apa pun dari siapa pun.
Tatkala langit telah menggelap, kemilauan matamulah satu-satunya sumber cahaya yang menerangi kita. Aku beringsut, mengeliminasi jarak antara kita. Hingga bisa kulihat sumber cahaya itu pun turut menggelap akibat mendung yang menghalauinya. Lalu satu-dua tetes hujan pun turun dari kelopakmu. Membuatku semakin kegirangan. Semakin senang tak keruan.
Hanya aku yang menyaksikan semua kerapuhanmu. Hanya aku yang menjadi pelimpahan bebanmu, sebelum akhirnya nanti kau akan kembali mengenakan topengmu dan menegakkan punggungmu di hadapan mereka. Hanya aku.
Ombak kembali memecah karang, menciptakan suara jeritan laut yang mengesankan. Di atas sana, rembulan sudah muncul diam-diam, menatapku sinis sembari berucap dengan nada sarkas, ‘Hantu genit brengsek! Kerjanya cuma mengganggu cowok-cowok tampan yang lagi sedih.‘
Aku mendelik. ‘Urusi saja urusanmu. Dasar tukang intip!‘
aduh. maaf, saya speechless. I’m enjoying ur short-story too much!
SukaSuka
Ya ampun. Makasih sudah mampir, Kak Lai. :”
SukaSuka