Résurrection

KELUNGSURAN TANGGUNG JAWAB—kendati tidak pernah dipertanggungjawabkan—membuat Celestilla merasa bebas. Kemuakannya pada hidup telah di ambang batas. Menebas lenyap rasa takutnya akan maut itu sendiri.

Pada subuh pertama pascasertijab, gadis bermasker itu membawa dirinya ke tebing yang menghadap West Beach. Meloncat dari sana. Seolah-olah lidah ombak adalah kasur nan empuk yang akan membuainya saat tidur panjang.

Akan tetapi, tak lama berselang usai detik maut yang diinginkan datang menerbangkan jiwanya, tubuh yang sempat mengapung di perairan itu tiba-tiba membuka mata dan membatukkan air asin, yang sebelumnya nyaris meledakkan paru-paru.




Dua jam sebelum kebangkitan kembali …

Siang hari.

Partner Oliver Walace yang bernama Sir William MacNab sudah lama tidak tinggal di West Beach. Selepas menikahi vampir bernama belakang Moreau, laki-laki manusia itu hengkang ke Prancis. Dengar-dengar, dia mengalami masa sulit karena konversinya sebagai kaum pengisap darah di usia yang sudah tidak lagi muda. Hingga Oliver, yang notabene manusia biasa, tidak bisa lagi mengunjunginya tanpa mengancam dirinya sendiri. Akhirnya, Oliver kembali, dan menjalani hidup nomaden di Edentria.

Kalau tidak tiba-tiba merindukan masa-masa sulitnya mencari penghidupan pun, mungkin dia tidak berada di West Beach, lokasi pertama yang dia kenali.

Walau musim gugur telah tiba, terik matahari masih membakar dirinya. Kulitnya yang memang legam karena sering terpapar panas tanpa perlindungan tabir surya—sebagai kalangan pantai sejak sebelum terdampar, kulit yang terbakar adalah kebanggaan sendiri—terasa semakin akan menggelap.

Dia baru saja keluar dari toko alat pancing mereka, ‘The MacLace’s’, yang kini telah dialihtangankan pada orang kepercayaannya untuk dikelola, saat keriuhan di ujung pesisir mengambil atensinya.

Rokok yang semula ingin diisapnya kembali masuk kantung. Oliver menurunkan topi seolah itu bisa membantu menjernihkan penglihatan jauh, yang memburam akibat pengaruh alkohol dan nikotin. Mata itu menyipit. Dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, setelah enam tahun berlalu, adakah orang lain yang juga terdampar di pulau ini seperti kasusnya, William, dan gadis bernama Davina Leslaigh?

Oliver membawa kakinya menuju keriuhan, dan usai bertanya-tanya, serta mendengar pertanyaan juga jawaban dari sekeliling, ditemukannya bahwa dugaannya salah.

“Gadis itu!” seru seorang laki-laki pemabuk berparas Asia—barangkali Tesshu, nyaris histeris. Aroma miras menguar dari tubuhnya yang melangkah terhuyung-huyung. “Aku melihatnya terjun dari atas tebing subuh tadi! Dia …, dia …, betul-betul membunuh dirinya sendiri! Kupikir aku bermimpi!”

“Apa dia mati?” tanya seseorang yang lain.

“Akan,” yang berada di sisi tubuh gadis itu tergoleklah yang menjawab. Kepanikannya jauh lebih tertata dibandingkan mayoritas orang lain di sana, “kalau kita tidak segera membawanya ke rumah sakit atau penyembuh terdekat.”

Saat itulah Oliver berpikir sudah saatnya dia bersuara, “Aku kenal penyembuh di dekat sini. Mari kita bawa dia.”

***

Sebelumnya, Cornelia Howl hidup tunggang-langgang di sekitaran Glasgow. Dua tahun silam, dia akhirnya menyeberang ke Edentria dan hidup damai di dekat gua karang di tebing West Beach Utara. Yang menjamin keimigrasiannya adalah pegawai tinggi kantor Alkemis bernama Elijah Spider dan Assassin Edentria bernama Illa Augelain.

Sebelumnya lagi, di masa mudanya, Howl pernah bekerja di rumah sakit St. Mungo, 49 Charing Cross Road, kota London, yang gaib dari mata kaum yang tak diperkenankan. Dia bekerja di sana cukup lama, bahkan sejak saat Tuan dan Nyona Longbottom dirawat pertama kali.

Sayang, dia kemudian diusir dan di-blacklist dari semua rumah sakit sihir di dunia sana. Tidak diketahui apa penyebabnya. Madam Howl, demikian dia biasa disapa, lebih sering menjaga mulutnya dalam satu garis lurus dan jarang bercerita lebih tentang dirinya sendiri.

Oliver Walace hanya mendengar semua kisah ini dari Davina Leslaigh, yang entah mendengarnya dari mana. Menurut Oliver, sebagai sosok yang lebih duluan mengenal Howl karena pernah diselamatkan oleh wanita itu saat pertama kali diserang werewolf lain, cerita Leslaigh bisa dipercaya.

“Ada desas-desus bahwa, Madam Howl diam-diam mempelajari ilmu hitam untuk membangkitkan jiwa orang mati, yang merupakan jenis sihir terlarang di dunia sana,” kata Davina dua pekan lalu, beberapa hari setelah mereka kembali bertemu. Gadis itu akhirnya tidak lagi emosi untuk mengakui jati dirinya sebagai seosok manusia serigala hingga mereka bisa saling terbuka dan kembali berkomunikasi. Dialah yang memperkenalkan Oliver pada Madam Howl, untuk menyelamatkan nyawanya setelah diterjangi siluman sea serpent.

Saat dia sudah tiba di tepi tebing Barat Laut pulau, berbatasan dengan Bukit Golwin, Oliver Walace sedikit ketar-ketir apakah gerombolan yang membopong tubuh tak dikenal ini akan disambut dengan baik. Namun, kekhawatirannya nyatanya tak beralasan. Sebab kala pintu kayu mahoni kediaman Howl terbuka dan memunculkan sosok wanita tua berambut putih-seluruhnya yang disanggul rapi, ada pemakluman dalam wajahnya. Terlebih saat mata hijau itu jatuh pada sosok yang ditandu.

“Tempatku cukup sempit. Tolong, hanya dua orang yang membawanya masuk.” Ujaran Howl tenang dan dalam. Tapi, justru itulah yang membuat semua orang patuh. “Kau, Walace,” tunjuknya pada Oliver, “dan Anda, Mademoiselle Olive, tolong bawa dia ke dalam. Sisanya, terima kasih.”

Dengan satu anggukan dan senyum samar, Howl menggunting kerumunan itu pergi. Sementara Oliver baru menyadari bahwa sosok yang disebut Nona Olive—nama yang mirip namanya sendiri—adalah perempuan yang tadi memeriksa gadis yang rebah. Mereka berdua membopong tubuh bakal mayat tak dikenal itu masuk dan merebahkannya ke atas ranjang perawatan.

Meski sudah pernah bertemu Howl, ini kali pertama Oliver masuk ke dalam rumahnya. Ada wangi dupa, lilin aromaterapi, dedaunan, serta sesuatu yang mirip obat yang berpadu dan menguar di sekitaran. Rumah itu hampir tidak menyusupkan sinar mentari. Korden jendelanya tebal dan gelap. Tugas penerangan diberi kepada lilin-lilin aroma beraneka warna api di sudut ruangan. Oliver yang tidak terdidik baru tahu, paduan lilin merah, biru, dan kuning, bisa menghasilkan cahaya putih.

“Hangat tubuhnya hilang, seluruhnya bengkak. Jarinya membiru dan berkerut. Denyut nadinya tidak teraba. Detak jantung hilang. Kupikir nyawanya akan makin jauh jika tidak segera ditangani.”

Oliver Walace menoleh saat wanita bernama Nona Olive melapor. Pria itu jadi tak tahu harus melakukan apa kecuali duduk di atas sofa yang berkeriut saat ditimpa beban tubuhnya, menontoni dua wanita itu memeriksa di sudut ruang. Dia sedang mengamati kalender yang penuh penanggalan astrologi di dinding saat Nona Oliver datang dan menyertainya, beberapa menit kemudian. Gadis itu duduk di sofa seberang.

“Apa sudah selesai?” tanya Oliver ragu.

Gadis itu menggeleng. Mata birunya menyiratkan kecemasan. “Belum, Monsieur. Nyonya itu sedang mengupayakan usaha terakhir—aku tidak paham, ilmu penyembuhanku belum sampai ke sana. Aku sedikit kaget, bagaimana Nyonya itu tahu namaku …?”

Alis Oliver Walace terangkat. “Kupikir, kalian sudah saling kenal.”

“Tidak, Monsieur, belum. Ini kali pertama aku bertemu beliau.”

“Tapi kau penyembuh juga? Kalangan medis, maksudku,” tanya Oliver, teringat bagaimana gadis itu gesit memeriksa korban tenggelam tadi.

“UGEMAF—Université de Guérison Magique en France,” sahut Olive. “Ini tahun keduaku, aku ambil jatah pulang ke Edentria sampai liburan Natal. Rumah Ayahku di pedalaman Salvatore. Ah, maaf lupa memperkenalkan diri sebelumnya.” Tangannya mengulur. “Amélie Olive.”

Kepala Oliver terangguk sekenanya, sejatinya dia tidak paham apa yang diomongkan kecuali bahwa perempuan ini sedang berkuliah dan namanya Amélie Olive. Olive adalah nama belakangnya—agak tidak lazim. Gegas, Oliver menyambut sodoran tangan. “Oliver Walace.”

Ada detik yang membuat kuduknya berdiri segera setelah jabatan mereka terlepas. Seolah angin menyusup masuk sampai Oliver menoleh ke pintu, memastikan ia sudah menutupnya kembali setelah masuk. Kemudian, lilin-lilin aroma yang sekaligus menerangi sudut-sudut gulita yang tak terkecupi sorot matahari yang minim dalam ruangan itu, tiba-tiba padam.

Oliver memang terkejut, tapi tak sampai sepanik Amélie. Napas gadis itu terhentak. Bola matanya meliar di tengah keremangan. “Apa itu tadi? Apa itu … barusan?”

Oliver bertanya bingung, “Apa? Mengapa?”

Amélie bangkit seiring kembali menyalanya lilin merah. Disusul kuning. Kemudian biru. Yang membentuk cahaya putih. Kini Oliver bisa menyaksikan, sesuatu antara ketakjuban dan ketakutan di wajah Amélie.

“Kalau dugaanku benar …, Madame itu …,” kata si gadis lambat-lambat, “baru saja berhasil memanggil dan memasukkan arwah ke dalam tubuh gadis yang tadi.”




“Sekarang, kau sudah punya wadah baru …,” Suara Cornelia Howl terdengar berbisik di dalam ruangan yang sepi, “Rozdova.”

Rozdova memakaa dirinya terduduk. Dia mengernyit. Tubuhnya basah akibat memuntahkan kembali air asin dari paru-parunya begitu dia terjaga. Akar Tranula yang dikunyah dan ditelannya setelah itu, yang katanya bisa lebih cepat memulihkan seluruh organ tubuh yang vital, masih menyimpan efek pahit luar biasa baginya.

Bagaimanapun, dia sudah lama tak sanggup merasa, sekalipun dalam ruh yang memadat selama di Edentria. Dan, alangkah ‘beruntung’nya, ia, rasa pertama yang harus dicicipinya adalah paket dari hal-hal yang tidak nyaman: rasa sakit, dan rasa pahit.

“Kau beruntung. Pemilik tubuh menolak kembali lagi ke Kehidupan. Rupanya dia memang benar-benar ingin mati. Aku curiga, dia sungguh-sungguh membunuh dirinya sendiri. Berterima kasihlah padanya untuk keputusan bodoh yang menguntungkanmu,” Howl berceramah, sembari menyerahkan sekeping cermin yang retak.

Gadis itu mengamati wajah yang terefleksi dalam cermin. Seketika itu pula, ia tercekat. Matanya membola.

“Terpujilah Tuhan,” bisiknya lemah dan serak. “Saya … mengenal … anak ini ….”

Howl mengernyit. “Siapa?” Kebetulan ini suatu fakta baru baginya.

Sang gadis yang secara fisik tampak jauh lebih muda itu mendongak, agak lamban. Tampak masih lemas karena perlu waktu agak lama untuk melatih dirinya terbiasa dengan tubuh barunya.

“Gadis ini, Madam Howl …,” katanya, pada wanita yang telah menjadi temannya selama dua tahun di Edentria ini, “adalah teman seasrama saya di akade—”

Kalimatnya disela oleh derap langkah nan sedikit tak sopan yang mendekat.

“LUAR BIASA! LUAR BIASA!” Amélie merangsek. Di balik punggungnya, Oliver Walace melongok, memandang Howl tidak kalah takjubnya. “Dia hidup!” lanjut Amélie, masih terpukau.

Gadis di atas pembaringan menoleh lamban, lalu dengan sama lambannya kembali menatap Howl, mengangsurkan pertanyaan tanpa kata, yang bermakna ‘siapa mereka’. Seolah memahami, Howl mengangkat aliasnya dan tersenyum sekilas, sebelum berujar pada kedua orang pendatang yang masih ternganga.

“Mereka berdua adalah sosok yang menyelamatkanmu dan mengantarmu ke tempatku,” tutur Cornelia Howl enigmatis. Lalu ia menyambung, pada dua tamu yang masih terpukau seolah ia baru saja mencegah datangnya kiamat. “Seperti yang kalian lihat. Anak ini kembali hidup.”

“Anda … sungguh sangat luar biasa,” Amélie memuji sepenuh hati. Matanya berbinar, menampakkan ketulusan. Telah dia temukan dengan siapa ia harus berguru lebih banyak tentang dunia penyembuhan begitu lulus nanti. “Aku cukup yakin, nadinya sangat jauh sampai tak bisa disembuhkan kecuali oleh penyembuh yang lihai. Kami tidak mempelajarinya di sekolahku, maupun di universitasku, karena katanya itu ilmu terlarang. Tapi, buat apa dilarang kalau bisa sebermanfaat ini?” cerocosnya.

Tanpa menyadari respons sekitaran—bagaimana Madam Howl mengerjap kesal dan Oliver Walace yang menatap mereka semakin bengong, dia mendekati ranjang dan berusaha mengobrol dengan gadis yang berbaring di sana, “Halo, apa kau merasa baik-baik saja? Apa kau ingat siapa dirimu?”

Gadis yang duduk di atas ranjang itu memandang Amélie tanpa ekspresi sejenak. Dalam jeda waktu itu, kepalanya menyuarakan satu pertimbangan: berlaku palsu bukanlah sesuatu yang baru baginya. Dia aktris, juga penipu, sejak saat masih hidup, sampai tak lagi mengandung kehidupan. Ini akan jauh lebih mudah. Dia mengenal pemilik asli tubuh ini berbulan-bulan dan menghabiskan waktu bersama dalam satu atap.

Perlahan, bibir pucatnya mengembangkan senyuman. Suara lirih yang lembut terdengar dari getaran pita suaranya, “Ya, saya baik, dan saya ingat. Terima kasih untuk penyelamatan luar biasa kalian atas saya. Nama saya Celestilla. Saya siswi Mart, Akademi Sastra Fanfiction.”

Tinggalkan komentar