Bola Surga

Prompt: Sarinah

Jumlah Kata: 448



“Bola Surga, Bola Surga! Silakan, siapa saja yang ingin menebus dosa, dan masuk surga jalur instan, inilah cara jitunya!”

Seruan promosi itu terlalu menarik untuk diabaikan. Cepat-cepat kuayun langkah mendekat.

“Berapa bayarannya?”

Penjual bertudung itu mengedip. “Cukup nyali dan pengorbanan Anda. Ledakkan ini bersama Anda di tempat yang terlalu duniawi. Ketika Anda lenyap bersama serpih debu, tempat pertama yang Anda datangi selanjutnya adalah Surga. Tidak ada transit-transitan!”

Hidungku megar. Kebetulan, aku tidak tahu lagi harus dibawa ke mana hidupku. Aku terlalu kotor. Dunia yang penuh kotoran ini telah mengontaminasi kesucian batinku. Ini cara mengembalikanku sekaligus dunia, ke kesucian abadi, seperti selayaknya kami tercipta.

Kuboyong sebuah Bola Surga. Besoknya, aku berangkat ke tempat di mana hedonisme merajalela. Harga-harga melangit membuat napas-napas tercekat. Buang-buang uang demi kesenangan hingga kian jauh dari akhirat. Musik-musik menulikan telinga membuat diri kian tersesat. Anak-anak diajarkan menjadi konsumtif dan bermandikan mudarat.

Seorang anak berbaju kuning yang memangku boneka beruang sempat menolehiku sambil tersenyum. Seorang petugas pengamanan sempat menyapaku. Kubalas semua itu dengan sekali klik. Yang mengisap semua kotoran dan meledakkannya. Yang melalap segenap dosa dan memusnahkannya. Termasuk diriku.

Dang!

Ketika mataku kembali membuka, kurasakan kehampaan. Mungkinkah karena kotoran yang melekat dan memberatiku telah hilang?

Di sisi kanan dan kiriku hanya ada membentang padang kosong nan tandus. Surgakah ini?

Matahari terasa lekat dengan punggungku. Tidak tahan bercampur penasaran, kucegat musafir yang lewat.

“Permisi, apakah ini Surga?”

Ia menatapku sejenak sebelum menunjuk ke suatu tempat nun jauh di depan sana, terhalang badai pasir yang memedihkan mata. “Surga? Di sana.” Lalu ditinggalkannya aku, memelesat cepat menuju tempat itu.

Aku pun tak tinggal diam. Kulangkahkan kakiku, tapi terasa begitu berat. Seseorang menumpanginya. Ia, bocah perempuan berbaju kuning yang memeluk boneka beruang. Tubuh bagian bawahnya menghilang.

“Om, numpang, ya. Om menghilangkan kakiku. Padahal hari ini hari ulang tahunku, tapi Om memisahkanku dari Ibu dan Ayah.”

Sekeras apa pun kucoba melepaskannya, dia terus menempeliku laksana lintah.

Lalu, pundakku ikut terasa berat. Seseorang menumpanginya, lebih besar dan lebih membebani. Dipeluknya leherku hingga aku tercekik dan terbatuk-batuk. Lelaki berseragam satpam.

“Bang, numpang. Sampeyan bikin kendaraan saya hilang. Padahal sebentar lagi istri saya melahirkan anak pertama. Saya jadi tidak bisa bertemu istri dan bahkan melihat anak saya.”

Langkah kakiku memberat dengan beban-beban yang tak bisa kulengserkan ini. Entah berapa lama waktu berlalu, aku tiba di pintu Surga dengan kelelahan. Dua sosok yang menumpangiku lantas dijemput dengan kereta hijau yang bersinar, masuk ke dalam. Sementara langkah kakiku dicegat seketika.

Aku marah. “Apa-apaan? Aku sudah membeli bola Surga!”

Sosok tanpa wajah yang mencegatku tertawa dengan gelegar bagaikan guntur.

“Bola Surga? Tidak ada yang namanya Bola Surga. Kau telah tertipu. Dia adalah Iblis yang menjajakan Batu Neraka. Tidak ada Bola Surga yang meledak dan menyengsarakan banyak orang.”

Tinggalkan komentar