Ilalang

Ilalang sudah biasa terbiar. Ada, tapi tak dihiraukan. Eksistensinya hanya sebatas gulma di lahan pertanian. Bila tinggi, harus rela terpangkas. Bila rendah, ikhlas terinjak-injak. Namun, ia tak pernah mengeluh, karena ia tahu dirinya tangguh.

Begitulah ilalang. Sudah terbiasa.

Di dekatnya, ada dua makhluk ber-kingdom sama yang lahir dan tumbuh berbarengan dengannya. Sebatang pohon kelapa yang menjulang jumawa dan sepetak padi. Kelapa itu teramat angkuh, suka mencela dirinya yang tak bisa apa-apa. Mentang-mentang si Cocos nucifera adalah makhluk yang teramat berjasa bagi manusia dari akar sampai puncaknya, ia jadi sombong.

Berbeda dengan padi. Walau kehidupannya sangat berarti, tak pernah ia ikutan mencela ilalang. Malah, padi lah yang selalu mendampingi dan membelanya kala dicela dan dihina oleh kelapa.

Sebab lain yang membikinnya suka berteman dengan si padi adalah karena padi teramat rendah hati. Walau eksistensinya didamba oleh manusia, ia selalu merunduk rendah dan menghargai sesama makhluk.

Bila ilalang ditanya, apa yang paling ia harapkan dalam hidup, jawabannya cuma satu: ia ingin bisa bermanfaat bagi manusia. Hanya kepada bintang jatuhlah, ia mengajukan pintanya.

Kala itu paceklik tiba. Semua bahan pangan kekurangan sebab hujan tak kunjung datang selama sekian lamanya. Padi mati. Kelapa punah setelah terkuras habis. Harga segala barang ekonomi melonjak naik, membuat manusia sengsara. Ilalang mengamati semua dengan sedih. Ia ingin bisa membantu, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tiada.

Dari tempatnya melekat kini, ia menyaksikan kedatangan lima manusia asing. Tampang mereka sayu dan lemah, dengan langkah gontai lalu tidur di sebelahnya.

“Matahari panas sekali.” Ujar salah seorang dari mereka.

“Kapan hujan? Apatah alam sudah marah?”

“Kita tak punya apa-apa lagi. Tak punya makanan, tak punya tempat tinggal.”

Ilalang mendengar dengan prihatin. Ingin rasanya membantu, namun tidak tahu caranya.

“Di sana ada bertumpuk kayu kering. Bagaimana bila kita membuat tempat tinggal baru? Setidaknya bisa memayungi kita dari sengatan matahari yang menggila ini.”

Bekerjalah mereka membikin sebuah gubuk. Namun di tengah jalan, mereka berhenti. Gubuk yang mereka buat, hanya sebatas dinding tanpa atap yang malah menjadi bagian paling vital.

“Ya ampun. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Matahari sudah semakin menaik.”

Angin kering bertiup. Membuat helai-helai ilalang bergoyang dipermainkan.

“Bagaimana kalau kita pangkas saja rumput tinggi dan kering itu, lalu dijadikan atap? Tak ada lagi yang bisa kita pergunakan di sini.”

Singkat cerita, ilalang itu terpangkas, terkumpulkan dan dijadikan atap. Kelima manusia itu akhirnya terhindar dari sengatan panas mentari karena jasa ilalang.

Satu hal yang teramat ilalang syukuri, adalah harapannya untuk bisa jadi berguna bagi kehidupan manusia kini terkabulkan.


(Adik-adik, ilalang tidak pernah merasa jumawa, karena ia tahu dirinya hanyalah satu tumbuhan yang mesti membumi–melekat di bumi. Acapkali ia harus rela dianggap kejam, sebab durinya yang tajam bisa menyakiti siapa saja. Tapi ia enggan membantah, karena memang demikian faktanya. Dianggap tak guna pun tak apa. Tak perlu ada yang tahu bahwa sejatinya lahan-lahan terbuka akan mudah tererosi tanpa presensinya.)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s