“Hei, apa yang terjadi?”
Pertanyaan itu mencelat dari lisan Choi Jong Hoon begitu menemukan adiknya yang keluar dari kelasnya dalam kondisi kusut-masai. Segaris luka terpahat di pelipisnya, dan langkahnya tersaruk oleh pincang di kaki kiri.
“Aku tidak apa-apa.”
Pemuda itu menghela tangan adiknya, lembut, tetapi mampu membuat si gadis muda jatuh jika tidak lekas ditahannya. Melihat kondisi Illa yang remuk bagai diterjangi hantaman bertubi, rahang Jonghoon mengeras. Ia memutar posisi tubuh, lurus menghadap adiknya dengan kedua tangan membingkai lengan atas gadis itu. Tidak ia pedulikan lalu-lalang siswa-siswi lain dan berpasang-pasangan mata yang memperhatikan mereka.
“Apakah kau dirundung lagi?”
Illa tidak menjawab. Kebungkamannya selalu bermakna ia enggan menjawab, dan keenganannya berarti jawabannya adalah iya. Lelaki berhidung bangir mendesah kesal.
Ini bukan hal yang baru, perundungan Choi Illa sudah berlangsung terhitung sejak kedatangannya ke negeri Ginseng dan menjadi siswi di sana. Beberapa kali gadis bersurai jelaga pulang dalam kondisi tubuh dibabat luka-luka. Namun, setiap kali ditanya, ia tak pernah mau buka suara.
Menahun sudah kejadian ini berulang. Bahkan kini, setelah pemindahan Illa dari Jeju ke Seoul, di Seoul, menjauh dari orang tua mereka, dengan niat menanggalkan segala perundungan di seberang lautan, Jonghoon tak menyangka, peristiwa ini akan terjadi lagi bahkan ketika Illa telah duduk di bangku SMA.
Choi Jonghoon mendesah. “Kalau mereka melakukan hal ini lagi padamu, lawan!” ucapnya gemas.
Tak diduga, Illa spontan menyahut. “Aku sudah melakukannya.”
“Apa?” Jonghoon mengerjap.
“Melawan,” jawab Illa. “Aku sudah melakukannya. Kepala Jisoo kuhantam pakai buku. Kaki Jun Hee kuinjak sampai ia terpincang. Tangan Sora kupelintir sampai ia meraung-raung memohon ampun. Ketiganya kukunci di dalam kamar mandi.”
Rahang Jonghoon seolah kehilangan daya untuk digerakkan. Sekali ia bisa menguasainya kembali, yang tercetus dari lisannya adalah pertanyaan tolol, “Ap—apa?”
Illa tidak lanjut berbicara lagi. Pada dasarnya, ia memang jarang mengobrol dan lebih banyak mendengarkan. Maka dari itulah, Jonghoon takjub mendengarkan cerocosan tentang perlakuan balasannya kepada teman-teman perundung yang lebih dari tujuh kata.
Namun, bukan itu yang mestinya menjadi fokus. Alarm di kepalanya berdering. “Hei, mereka masih terkunci di kamar mandi?”
Illa melirik tanpa ekspresi, “Ya.”
Rasanya, bulu kuduk Jonghoon merinding. “Kau, pergilah duluan ke toko es krim di seberang jalan. Aku akan menyusul.” Ditepuknya pundak Illa tergesa-gesa, sebelum kemudian berderap kembali ke area sekolah Illa.
Kaki-kaki jenjangnya menikung di sudut-sudut koridor. Beberapa murid SMA menghujaninya dengan tatapan penasaran, entah penasaran siapa dirinya, ataukah penasaran akan apa yang ia lakukan. Jonghoon baru berhenti ketika kewarasannya kembali dengan sodoran fakta bahwa ia lupa di mana lokasi toilet wanita sekolah ini. Empat tahun sudah kelulusannya berlalu dan ingatannya sudah lindap oleh dilahap waktu.
Pada akhirnya, ia menghadang dua orang siswi berkacamata yang berpapasan dengannya.
“Hei, kau tahu di mana toilet wanita?” Ketika tatapan jijik ditujukan padanya, Jonghoon buru-buru meralat, “Maksudku, bisakah kau pergi ke toilet wanita dan mencari seseorang di sana?” Ia menambahkan kata pamungkas, “Tolong.”
Kedua siswi itu saling pandang, bertukar tanya lewat tatapan mata. Desah lega lolos dari paru-paru sang adam ketika sebuah anggukan menjadi jawaban. Sementara kedua gadis itu berjalan di depan, Jonghoon mengekori dengan gumulan rasa cemas. Berharap tiada hal buruk yang terjadi dengan anak-anak itu dan adik angkatnya tak terlibat masalah yang lebih dalam lagi.
Kebiasaan berdiam diri dan minimnya ekspresi Illa membuat Jonghoon cemas. Sejak tahu seluk-beluk tentang kematian ayah dan ibu kandung gadis itu, Jonghoon selalu dibayangi pemandangan Illa yang berubah menggila. Bangkai tikus yang ia temui dengan kematian di tangan Illa sekian tahun silam membawanya pada dugaan bahwa suatu hari nanti, gadis itu juga tak akan segan menghabisi orang-orang di sekelilingnya karena trauma dan kesumat pada manusia. Karena selama beberapa tahun ini Illa selalu menjadi pihak yang diam, imajinasinya menyusun adegan di mana gadis itu mencapai batas pitam dan mengamuk tanpa arah.
Terlampau larut dalam kecamuk benaknya, sendiri, pemuda itu sampai tak sadar bahwa mereka sudah tiba di depan pintu toilet, dan kedua gadis pemandu menatapnya dengan alis menukik.
“Eh, apa?” tanyanya.
“Ini toilet wanita, kau tak boleh masuk.”
“Ya, aku tidak boleh—masuk?” balasnya linglung.
Seorang di antara gadis-gadis itu menunjuk, “Kakimu.”
Jonghoon baru tersadar bahwa sebelah kakinya telah melewati garis pintu. “Oh, maaf.”
Pandangan jengkel pun curiga tertuju padanya. “Tunggu di sini. Biar kami yang memeriksa.”
Jonghoon membiarkan dirinya bertahan di luar, sementara kedua gadis itu merangsak maju ke dalam. Ia melongok demi menyaksikan pintu-pintu bilik diketuk lalu dibuka demi memastikan tiada orang di dalamnya.
Namun, sampai akhir, tak ada seorang pun yang menghuni toilet wanita. Kedua gadis itu keluar dengan wajah kesal.
“Eopseoyo1. Tiada siapa pun. Kau tidak sedang mengerjai kami, ‘kan?”
Kerutan mencuat dari kening Jonghoon. “Masa? Sungguh?” Ia termenung sejenak. “Ah, kalau begitu, terima kasih. Dan, maaf sudah merepotkan,” ujarnya tak enak.
Selepas kedua gadis itu mempersilakannya—dengan ketus, tentunya—untuk hengkang dari depan toilet, pemuda itu baru teringat akan adiknya yang ia suruh menanti di toko es krim. Ia melajukan langkah, tetapi di tengah jalan, sebuah kerumunan yang ribut menghalanginya.
“Ada apa?” tanyanya pada seorang pria paruh baya yang berada di lingkar luar kerubutan.
“Anak-anak SMA Yeongdong berkelahi. Ck, anak muda zaman sekarang, bukannya belajar malah—”
Ucapan selanjutnya tak tertangkap oleh kuping pemuda berhidung bangir, karena ia kadung menuruti alarm bahaya yang menjerit di kepala, menerabas kerumunan hingga sampai di lingkar depan. Firasat buruknya terbukti. Didapatinya Illa dan tiga orang anak perempuan dalam balutan seragam yang sama yang saling berdebat. Salah satu dari gadis asing itu menghela rambut Illa yang terkumpul dalam satu kuciran. Belum sempat ia mengeluarkan suara, adiknya sudah kadung membalas: menjambak rambut sang pelaku dengan kasar, lalu menghantam dagunya sampai tersungkur di tanah.
“Illa-ya!” Tak mau menunggu lebih lama lagi, pemuda itu maju dan mendekap Illa dari belakang, menahan tangannya. “Cukup. Sudah cukup.”
Gadis itu sepertinya tidak tersadar. Ia memberontak dalam rengkuhan pemuda Choi, dengan sorot mata dingin terlekap lencang ke arah ketiga gadis yang tengah meringis. Tetapi tidak sedikit pun Jonghoon mau melepaskannya. Pemuda itu mempertahankan rengkuhannya, erat-erat.
Choi Illa bukan tipe gadis yang doyan mencari gara-gara. Ia lebih senang duduk di sudut, menyumbat kedua liang telinganya dengan sepasang earphone, lalu memejamkan mata, menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangan, bersenandung lirih sampai kesadarannya lesap. Atau meringkuk di sudut, bergelung dengan bacaan, dan tidak mempedulikan apa pun yang berlangsung di sekitar. Ia lebih memilih menyusun puzzle atau menekuri sebuah buku tebal daripada harus bergosip dengan teman sekelas; memilih tempat duduk di bagian pojok daripada harus selalu jadi sorotan.
Dengan sederet kasus yang pernah menimpa Illa, Choi Jonghoon tahu, bukan gadis itu yang memulai. Illa tidak pernah memulai. Ia hanya membela diri.
Namun, penjelasannya sebagai orang luar tidak berlaku jika berhadapan dengan tiga pasang orangtua dengan jabatan mentereng, yang mati-matian membela ketiga anaknya tidak punya kesalahan.
“Buktinya anak ini baik-baik saja! Sementara anak kami babak-belur digebuki dia!”
Padahal Illa cuma tidak mau menunjukkan kakinya yang pincang, kepalanya yang pusing, atau tubuhnya yang memar.
“Kami akan tuntut sekolah ini jika dia tidak lekas dipecat!”
Betapa klise dan murahannya gaya orang berada. Mirip drama yang seringkali menjadi bahan ledakan ibunya.
Choi Jonghoon melirik adiknya yang tertunduk dan diam. Di atas paha, tangan gadis itu mengepal.
Keputusannya, Illa resmi dikeluarkan. Entah harus berapa kali lagi mereka mencari sekolah baru bagi gadis itu, dunia seolah tak mau tahu. Perundungan ada di mana-mana. Orang-orang yang normal menyerang yang tidak normal. Orang-orang biasa menjahili orang yang tidak biasa. Orang-orang banyak menekan orang yang segelintir.
Choi Jonghoon menghela napasnya, agak kasar. Perjalanan pulang mereka dilalui dengan hening. Jonghoon bungkam, Illa pun membisu. Keheningan itu baru tersayat oleh dering ponsel Jonghoon.
“Ne, Eomma2.”
Di seberang, nyonya Choi memaki-maki pihak sekolah selepas pemuda itu bercerita. Sebagai seorang mantan wartawan, berkali-kali ia menekan, “Tunggu saja sampai kukorek kebusukan mereka dan kuekspos ke publik!”
Ketika ponsel itu akhirnya dimatikan, Jonghoon menatap Illa lekat-lekat. Tangannya menyaruk helai-helai rambut yang tergantung acak di sisi wajah gadis itu akibat pita rambut yang raib entah ke mana, lalu mengusap pipi Illa dengan lembut.
“Eomma sudah menemukan sekolah baru untukmu.” Ada rasa tidak rela yang merayap di dadanya. “Tapi tidak di Korea. Sekolahnya berasrama. Kau mau?”
1 eopseoyo : tidak ada
2 ne, Eomma : ya, Ibu