Teduh dalam Jarak

Tidak ada debur ombak yang mengempas bibir pantai dengan beringas, sinar mentari menyengat yang memaksa orang melapisi kulit dengan tabir surya, pun jubelan makhluk yang hendak menikmati ‘vitamin sea‘. Lautan di musim dingin kali ini cukup tenang. Hanya riak kecil yang ditampakkan setiap kali angin Desember menampar permukaannya. Sinar mentari malah terasa teduh di balik selimut awan. Sepanjang Han Ga-eul memandang, hanya dirinya yang memijaki pesisir berpasir putih.

Mengunjungi pantai di bulan Desember sepertinya bukan hal yang menarik hati orang lain.

Gadis ber-coat cokelat dan syal senada menantang laut lepas yang tidak ia tahu ke mana muaranya. Dulu Ga-eul pernah bertanya pada ayahnya tentang ini, dan dijawab, “Laut Pantai Barat bukan hal yang nyata. Itu satu-satunya air yang ujungnya tidak berlabuh ke samudera.” Butuh lebih dari lima belas menit bagi gadis itu untuk paham. Dan butuh bertahun-tahun lamanya bagi Ga-eul untuk menerima bahwa apa yang terhampar dan tersedia di depan matanya sama sekali tidak nyata.

Tidak, tidak. Ini bukan perihal ilusi dan fantasi. Ini soal persepsi.

Bahkan saat Han Ga-eul membungkuk dan meraup air laut yang mulai dingin dengan kedua tangannya, hingga air itu menetes dan merembes keluar lewat sela-sela jari, Ga-eul masih meyakini apa yang ada di depan matanya tidak nyata. Sensor di kulitnya menjerit dingin, tapi Ga-eul tak sungguhan menyentuh partikel-parikel air.

Keyakinannya juga sama seperti bagaimana gadis asal Nauel itu percaya, bahwa ayah dan ibunya tidak benar-benar pergi. Tubuh Shin Jisoo dan Han Kang-hyuk memang luruh jadi abu sehabis dikremasi. Tetapi itu hanya medium. Orang tuanya yang sebenarnya kini berkelindan dan berbaur di udara, di air, di tanah. Menjelma unsur-unsur yang kelak membangkitkan kehidupan baru.

Omo. Dinginnya.” 

Han Ga-eul mengernyit dan tergagap saat air laut yang ditampungnya untuk kedua kali iseng ia basuh pada wajah. Rasanya lebih dingin daripada yang teraba tangannya. Mungkin karena Ga-eul melamun.

Tetapi setidaknya, dingin air itu menyadarkan Ga-eul pada apa yang mau ia lakukan di sini tadinya. Hampir saja ia lupa karena larut dalam pemikirannya sendiri.

Gadis itu berdiri lagi. Sepatunya mengkilap tersapu air laut yang datang dan pergi dari bibir pantai. Tetesan air di wajah masih jatuh memimpa syal yang membebat lehernya, menciptakan jejak warna kain yang lebih gelap daripada seharusnya. Tangannya terlipat di depan dada dan matanya terpejam.

Angin menampar ujung rambutnya yang tergerai, selagi Han Ga-eul menggumamkan doa untuk orang tuanya.

Puncak hidung yang lembab itu mulai memerah. Karena terbasuh, juga karena angin yang kian mendingin seiring waktu yang mendekati sore. Di musim dingin, hari selalu terasa lebih ringkas, dan malam selalu datang lebih lekas. Kelopak matanya berkedut, lalu terbuka.

Han Ga-eul masih sendirian di tempat yang sama, tapi di matanya yang berbinar, seolah-olah ada serbuk-serbuk cahaya yang berputar di sisinya lalu terbang ke angkasa. Ga-eul selalu melihat yang sama setiap kali ia merapalkan harapan, atau melihat orang-orang berdoa dengan ritual keagamaan masing-masing. Tata cara peribadatan mungkin berbeda. Bagi Ga-eul, itu pengaruh budaya lokal pada titik di mana pembawa nubuat pernah hidup. Tetapi intinya sama: melambungkan asa pada semesta agar seluruh tatanan kosmos berakhir ke sana.

Sekali lagi, ia tidak peduli itu nyata atau ilusi. Karena serbuk itu tak ada bedanya dengan lautan yang terhampar di depan matanya.

Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar, lalu menjerit. Menghentaknya. Ga-eul merogoh benda itu dan memaksimalkan pencahayaan agar apa yang tertera di layar mampu terbaca.

Lee Yoo-ra memanggilnya.

Ga-eul menempelkan benda itu ke telinga sambil menatap matahari yang kini sudah hilang sepenuhnya dari angkasa.

Yobose—”

“Aaa akhirnya aku bisa meneleponmu dalam sekali percobaan! Eh, kamu besok jadi pulang ke sini, ‘kan?”

Han Ga-eul tertawa. Sahabatnya ini selalu saja sebersemangat ini.

“Jadi, kok, jadi.”

“Perlu kujemput di mana? Di bandara? Kamu sampai jam berapa?”

Tawa gadis yang sering menyebut dirinya Autumn itu lepas lagi ke udara.

“Aigoo, aku kan sudah bilang aku pulang dengan portal. Jadi tidak perlu dijemput.”

“Oh, iya. Aku lupa,” kata Yoo-ra. “Aku selalu merasa kamu pergi ke luar negeri, bukannya liar dimensi. Padahal aku sudah terbiasa terpapar hal beginian. Tapi kok malah sering lupa. Malam ini aku dan Eomma sedang membuat kue untuk menyambutmu besok. Kamu tiba jam berapa?”

Ga-eul meringis pelan. Otaknya dipaksa berputar cepat. “Aku berangkat pagi dari sini, jadi agak siang atau sore aku tiba di Seoul.” Ia masih harus menyeberang dengan feri dari pelabuhan Dodong ke Senemanjung Korea, barulah ia akan naik bus ke rumah keluarga Lee.

“Ah, arasseo. Kalau begitu, bawakan oleh-oleh, ya. Batu dari pulau itu juga boleh. Siapa tahu ada kekuatannya. Hahahahahaha. Bercanda.”

Perut Ga-eul tergelitik. Ia ikut tertawa. “Kalau begitu sih, aku sudah kaya dan jadi alkemis ternama sekarang.” Gadis itu berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kubawakan tteokbokki kesukaanku?”

Mwo? Di sana ada kue beras juga?”

“Ada kok. Nanti kubawa, deh. Siapa tahu kalau dimakan kamu bisa jadi Iron Man. Hehehehehe.”

“Ah, bercanda nih, kamu. Tapi oke deh. Eomma! Katanya nanti Ga-eul mau membawakan tteokbokki yang bisa membuat kita jadi Iron Man!”

Kali ini, gelak tawa Ga-eul pecah sepenuhnya. Ia sampai terbungkuk-bungkuk, bahkan setelah mendengar sayup-sayup suara ibu temannya dari seberang yang menyahut, “Yang bisa bikin Eomma jadi Black Widow ada?”

“Ada, Eomma. Jadi Ratu Inggris juga bisa,” sahut Ga-eul di antara derai tawanya. Di seberang ada sambutan tawa yang lain lagi.

Suara Yoo-ra terdengar lagi.

“Ya sudah, kata Eomma sebaiknya kamu istirahat supaya besok tidak mabuk lewat portal. Hahaha. Aku mau lanjut bikin kue, nih. Besok kenyanglah kamu dengan kue-kueku.”

Seharusnya Ga-eul bilang, ‘Tidak perlu repot-repot begitu,’ tetapi karena gadis itu sudah tahu seperti apa Lee Yoo-ra dan keluarganya, kalimat itu bahkan tak terpikirkan olehnya. Lee Yoo-ra sangat suka membuat kue dan tergila-gila membuat kue untuk segala macam perayaan. Bahkan saat kucing piaraannya, Bom—yang dinamakan ‘Bom’ supaya bisa jadi saudara Ga-eul dalam nama-nama musim—hamil dan melahirkan pun, kue buatan Yoo-ra selalu menyertai perayaannya. Dan kegilaan itu menurun dari ibunya.

“Baiklah. Aku juga sudah kangen kue-kuemu. Aku tutup, ya. Aku harus memburu bus untuk kembali ke akademi, nih.”

Obrolan itu selesai. Han Ga-eul memasukkan ponselnya ke dalam saku mantel. Dihirupnya udara sekali lagi, yang tidak melungsurkan senyumnya pergi walau cuma seinci. Ah, apa yang nyata dan tidak nyata? Sekalipun tidak ada satu pun yang nyata dalam hidup ini, Ga-eul masih bisa merasakan lezatnya tteokbokki, hangatnya pelukan Yoo-ra, lembutnya es krim stroberi yang lumer di lidah, dan empuknya kasur dan selimut asrama.

Ga-eul menepuk-nepuk pipinya ringan. Sadarlah Ga-euri. Ayo berangkat. Bus tidak akan menunggumu.

Barulah kedua kakinya bertolak, melangkah. Membawa dirinya meninggalkan Pantai Barat yang makin sore makin dingin.

4 respons untuk ‘Teduh dalam Jarak