Bersama

Berdua didatangkan dalam jeda yang tak seberapa jauh, keranjang tua menjadi latar perkenalan aku dan engkau.

Di sanalah tanganku dan tanganmu bersalaman. Di sanalah senyum-senyum terkembang antara deretan brokoli, sawi, dan jus apel. Di sanalah kita hidupkan penjara menjadi istana.

Dalam kurun waktu sepanjang perjalanan menuju takdir, kita tamatkan cerita di balik kelahiran satu sama lain yang membuat kita sama-sama tersihir.

Aku terpana akan keteguhanmu melewati pembulian. Kamu terpana pada kekukuhanku melalui penjajahan.

Usai perkenalan merambah pada ketertarikan, ketertarikan bermuara pada seutas benang yang dipintal dari harapan dan ekspektasi: semoga kita bisa berkomplikasi membentuk sesuatu yang lebih lagi.

Obrolan dan khayalan kita semakin meninggi, sebelum akhirnya kita terangkut dan terbanting lagi di ranjang baru. Sebuah terminal, sebelum kita bersama-sama jumpa pada layu.

Malam itu, ketika Dia sibuk dengan hamba-hambanya yang lain, berdua kita memandangi langit-langit berdebu.

Besok hari eksekusi.

Ya. Besok hari eksekusi.

Akan jadi apa kau nanti?

Akan jadi apa pula kau nanti?

Aku berharap kita bisa berlabuh dalam satu wadah lagi.

Aku juga.

Pagi datang, dan Dia bertandang. Aku mengintip dan menguping apa yang mereka obrolkan dengan harap cemas.

“Tuan Muda minta nanti sore dihidangkan makaroni keju. Ada bahan utamanya?”

Ada! Ada! “Ada.” Yang pertama berseru adalah aku. Kedua dirimu. Ketiga jelas Dia. Mendengar ketegasan dalam suaranya, kita bergandengan tangan dan berdansa bahagia.

“Akhirnya.”

Jam meja meneriakkan pukul dua siang, saat Dia datang lagi. Bersiap menyusun deretan meja operasi juga alat-alat eksekusi. Pautan kita masih belum terlerai, senyum kita belum pula lungsur. Sudah kita putuskan menjemput wujud baru dalam senyum damai, ‘kan?

Akan tetapi, ketika seseorang datang padanya terburu, aku tahu ada yang tak beres.

“Tidak jadi! Tuan Muda bawa teman. Temannya mau jasuke. Tuan Muda tetap mau makaroni, dibuat pedas saja kalau bisa.”

Tidak! Tidak! “Oke.” Yang pertama berseru jelas aku. Yang kedua dirimu. Yang ketiga Dia. Ketegasan dalam suaranya kali ini membuat kita menangis teriris-iris.

Kuusap air matamu. Jangan menangis. Jangan menangis. Nanti kamu cepat membusuk. Sebab, aku hanya ingin lihat senyummu.

Kamu membalas, Kamu juga. Jangan menangis. Nanti kamu lembek.

Tidak apa-apa meski kita tidak bersama kali ini. Semoga ke depannya, kita bisa berjumpa lagi.

Pautan tangan kita dipisahkanNya. Dari kejauhan, kita melambai. Tiada kuasa kita untuk menentang atau memberontak. Kita sama-sama tahu, kita tak punya daya. Juga sama-sama tahu, kasta kasih tertinggi dan kekuatannya yang paling dahsyat adalah saat kita saling merelakan.

[Dua puluh satu jam kemudian, di peristirahatan terakhir, kita meluncur dari pabrik berbeda, lalu menyatu dalam keabadian.

Tidak apa-apa kan, tidak sepiring? Akhirnya kita tetap sejamban.

Ya. Untung saja teman Tuan Muda menginap di sini.]

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s