Hidup

Akhirnya, setelah sekian lama kutunggu, ia muncul juga di lorong. Mengendus-endus. Mengais-ngais.

Sebetulnya aku tahu apa yang ia cari. Dari jutaan remah-remahan makanan yang tumpah ke muka bumi, ia cuma mau yang bisa membawakannya hidup. Bisa tetap menghadapkan matahari ke wajahnya. Bisa tetap membuatnya menghirup udara segar. Serta membuatnya mengudap lebih banyak hidup, dari basah jalanan, dari tong sampah, dari piring pecah belah.

Tak benar legenda yang bilang bangsanya punya sembilan nyawa. Dusta nista! Yang ada hanya kekuatan bertahan yang harus lebih tabah dari karang. Soalnya hanya ada dua pilihan setiap mereka jumpa pada celaka: kalau tidak hidup, ya mati. Sudah tentu mereka memilih yang pertama.

Sedang asyik-asyiknya mencari, dia bertemu saudaranya yang lewat. Hanya lewat. Tidak menyapa atau bantu mengais. Tubuh itu bersih dan wangi, kontras dengan tubuhnya yang kumal dan dikecupi kutu-kutu nakal. Penyakit memang, gara-gara saban hari menumpang tidur di kandang ayam. Padahal mereka lahir dari rahim yang sama. Tapi nasib melemparkan keduanya ke dua kuadran berbeda, hanya karena seutas kalung di leher saudaranya.

Kalung itu pertanda jelas bahwa kalau saudaranya diapa-apakan, pelakunya bakalan kena sanksi. Ia juga ingin punya, tapi sudah lama ia pendam harapan itu bersama kotorannya di timbunan pasir. Mana ada yang mau berikan dia kalung, kalau penampilannya saja sudah semenjijikkan itu? Yang ada, setiap kali ia muncul di depan pintu, orang memaki-maki. Menghantamkan sapu atau guyuran air. Seolah semua itu bisa dipakai membersihkan dirinya biar tidak menjijikkan lagi.

Oh, matanya berbinar. Akhirnya ia dapat juga harapan hidupnya. Sekaleng makanan yang sudah digumuli belatung dan semut. Diusirnya semut-semut itu pergi dengan sapuan lidah, lalu meludah. Semiskin dan selapar itu, dia tidak doyan daging semut. Jelas tak ada dagingnya.

Hap. Hap. Nyam. Nyam. Tak. Tak. Miaw.

Sambil mendengarkan isi hatinya yang tampak sejelas matahari siang, aku tersenyum. Kutatap lagi kalung di tanganku. Hari ini akan kuberikan padanya, simbolisme diadopsinya ia olehku.

Kuhampiri ia ketika terlelap. Ia mengeong lirih, lalu mendongak. Sebelum ia panik menjauh, aku berjongkok dan memberinya remah-remah makanan dari tanganku. Ia menyantapnya dengan lahap.

“Hei, ayo, ikut aku. Mulai hari ini, kamu kuadopsi.”

Gerakannya berhenti. Ia mendongak.

Kudengar lagi isi batinnya.

Siapa Tuan ini? Mengapa bercahaya sekali?

Kupakaikan kalung di tanganku pada lehernya yang kurus, dan kugendong ia tanpa penolakan. Tidak disangka, bulunya yang asli lembut sekali.

“Mari kita pulang. Tempatmu sudah kusediakan.”

Ia mengeong penuh semangat. Menyambut uluran tanganku dengan lincah. Maka kubawa ia terbang. Meninggalkan jasadnya, yang entah akan jadi makanan semut, atau dibuang orang ke got-got berlumut.

Aku sudah mati, ya, Tuan? tanyanya.

Kujawab, “Tidak. Kamu Hidup. Kita Hidup. Lebih pejal dan lebih kekal.”

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s