Rupa2 Pura2

Sebuah suara membuka tayangan: “Kamera siap …, action!”

Lanskap kota urban pada malam hari selalu dibanjiri cahaya buatan yang melindapkan sumber cahaya alami. Malam ini, masuki salah satu lorong kecil dari jalan raya yang ramai pejalan kaki dan lalu-lalang kendaraan.

Di sanalah seorang gadis manis pulang bekerja, berjalan santai menyusuri gang. Ayunan kakinya berhenti begitu melihat seorang pria berpakaian compang-camping dan berkaki pincang tengah mengais sampah. Pemulung atau pengemis, entah.

Yang pasti, si gadis menghampiri. Dipanggilnya pria itu. Kepadanya, si gadis menyerahkan kotak makan yang ia dapat dari tempat kerjanya, beserta beberapa lembar uang.

Si pemulung menumpahkan banyak kalimat terima kasih sambil menangis haru, baru bergerak pulang. Kaki telanjangnya yang timpang melewati depan gerbang sebuah rumah mewah.

Di dalam rumah itu, sepasang suami istri sedang asyik bermesraan di depan televisi yang menyala. Kulit dan kulit menempel dan ditempel. Lisan mereka selang-seling memuntahkan kalimat manis, solah sedang berkompetisi siapa yang kalimat-kalimat cintanya paling menyenangkan.

Kegiatan mereka terjeda oleh kedatangan sang anak, seorang gadis belia, yang keluar dari kamar. Ia lewati sebuah lemari yang disesaki piala-piala kejuaraan. Tenggorokannya kering. Ia bermaksud mengambil minum sebagai teman belajar, sebab esok pagi ia harus mengikuti seleksi olimpiade matematika.

Sepasang suami-istri memutuskan untuk lanjut di kamar saja, usai melontar selamat malam dan selamat mimpi indah kepada putri semata wayang. Beranjaklah mereka. Televisi dan lampu pun dipadamkan.

Malam bergerak kian renta. Semua penghuni tengah lelap dan dilelapkan.

Tiba-tiba, terdengar derit samar.

Tiga orang bertopeng masuk dari jendela yang luput ditutup. Mengendap-endap mereka menyusup, menggondol televisi dan laptop yang berdiam dalam kegelapan.

Mulus, ketiganya membawa benda-benda gondolan keluar lewat pintu yang mereka buka dari dalam, masuk ke mobil yang sudah disiapkan di pekarangan depan. Begitu mobil meluncur, suasana kembali sunyi dan remang-remang.

Terdengar suara, “CUT!”

Pagi dipaksa hadir. Suami-istri menjerit mendapati aset yang lenyap. Jeritan mengular jadi racauan. Racauan berubah jadi saling menyalahkan. Piring-piring dan pajangan terbang dan terbuang.

Sang anak yang dibalut seragam sekolah, keluar dari rumah dengan kuping disumpal peredam, tanpa berkata apa-apa. Dia tidak pergi ke sekolah atau area lomba. Kakinya justru mengarah ke jembatan penyeberangan.

Di kolong jembatan itu, tiga pemuda membagi-bagikan makanan dan pakaian untuk anak-anak telantar. Salah satu anak datang belakangan, baru habis kena tempeleng dan diludahi seorang gadis manis yang mau berangkat bekerja, hanya karena si anak tak sengaja menubrukinya.

Tempat mereka berdiam dilewati oleh laki-laki pemulung yang kemudian menepi dan bersembunyi. Langkahnya yang semula pincang berangsur normal saat merasa tiada yang mengawasi. Meneteslah liur ketika ia menghitung perolehan yang nilainya fantastis. Duit sebanyak itu bisa dia gunakan untuk beli minuman keras seratus botol.

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan. Disusul bunyi berat seperti benda jatuh.

Penasaran, sang pemulung melipat kembali uang ke dalam pundi-pundi hartanya, lalu melongok bersama kerumunan massa.

Seorang anak gadis berseragam rapi baru saja menerjunkan diri dari atas jembatan itu. 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s