Pekarangan yang Memerdekakannya

Petang ini duka memang sedang senang bertandang, menyambangi halaman rumah kita yang baru saja berbenah dari suka. Rumput-rumput liar di pagar meringis miris, merunduk tunduk, beri jalan bagi kehilangan.

Demi Agustus, masih mengendap wangi sitrus, masih menetap warna pirus. Sementara bendera-bendera yang kemarin bertengger di puncak, diturunkan separuh tiang. Kebitannya adalah lambaian, langgam perpisahan bagi mereka yang dijemput kepulangan.

Mungkin takkan ada lagi rutinitas harian yang melibatkannya. Ketika tanah muncrat oleh galian tangan yang dilalui urat-urat beralirankan perjuangan untuk merdeka. Ketika batu-batu mungil yang tersusun acak dipijaki kaki yang pernah kenyang tergenang pertumpahan darah sahabat dan rekan sejawat.

Sebab mata yang pernah berkilat-kilat semangat menyaksikan bendera berkibar untuk pertama kalinya, kini balas disaksikan bendera untuk terakhir kalinya. Apa kau dengar angin menembangkan Gugur Bunga?

Namun, dengarkan ini, Anakku, sosok kakekmu itu tidak padam. Tidak membalam. Apalagi diringkus kegelapan malam. Justru sebaliknya, dia hanya sudah berjumpa dengan kemerdekaannya.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s