Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai

Lupa

Ada jeritan yang menyayat-nyayat gendang telinga. Ada sulur-sulur menyilaukan yang membuat kepalanya pening. Ada sesuatu yang keras dan padat yang menghantamnya, sebelum gelap menginvasi apa-apa yang terdeteksi oleh netranya.

Lalu semuanya hening.

Yang dia tahu, ketika cahaya datang matanya terbuka kembali, segerombolan orang yang dikenalinya mengelilingi tempat ia rebah kini dengan beragam ekspresi; antara harap-harap namun cemas, ada lega namun juga menyimpan nestapa. Dan usai seseorang berbaju putih menghampiri dan menjamah seluruh indranya, ia menangkap rona syukur yang mengaliri wajah mereka satu-satu.

“Syukurlah, kau sudah sadar.” Ujaran penuh haru tercetus dari seorang wanita paruh baya yang–ia tahu sebagai wanita yang melahirkannya, dan–langsung datang menghampiri sisi ranjang. Di sudut mata dan pipinya ada bekas airmata.

“Bu…,” ia mencoba berucap; suaramu serak, “di mana suamiku?”

Suasana mendadak hening. Ekspresi sang ibu yang berubah gugup membuatnya semakin ingin mendesak, “Bu? Dia di mana?”

“Kau masih lemah setelah dua hari tidak sadar. Kau harusnya tenang dulu.”

Namun, melalui getir yang mampu ia cerap dalam nada suara sang ibu, ia tahu persis ada sesuatu. Wanita muda mengalihkan pandang ke wajah-wajah lain yang ada di ruangan itu, meminta alternatif jawaban yang lebih memuaskan. Tetapi semua menunduk. Semua diam.

“Bu, tolong aku…”

Sang ibu menyerah. “Suamimu meninggal.”

Wanita muda itu tidak tahu dosa apa yang dilakukannya sampai beban yang harus ia tanggung pun rasanya terlampau lajat. Ia hanya bisa menangis. Membiarkan airmatanya mengalir dan bahunya terguncang.

Di saat demikian, ia berharap dalam hati agar semua ini hanya mimpi buruk semata, atau ia cepat lupa.


Luka wanita muda itu belum kering betul. Namun sang ibu tak kuasa menolak kala putrinya memohon-mohon agar diantarkan ke makam menantunya. Sembari menyeka airmatanya sendiri, dipandanginya punggung sang putri yang berguncang hebat di depan nisan.

Putrinya baru menikah seminggu yang lalu, dan hanya perlu masa kurang dari seminggu untuk beralih status menjadi janda.

Matahari sudah akan tenggelam. Ia merangkul putrinya pelan-pelan, mengajaknya pulang. Akan tetapi wanita muda itu enggan.

“Kau harus pulang, Sayang. Ini sudah hampir gelap.”

Gelengan tegas kembali dilayangkan. “Ibu duluan saja ke mobil. Aku mau di sini dulu sebentar lagi.”

Tak ada pemaksaan yang bisa dikenakan kepada putrinya. Ia pasrah. Memilih bertahan sebentar lagi, walau langit telah memerah dan matahari akan terbenam sebentar lagi.

Wanita muda itu masih di sana. Menatap nisan bertuliskan nama suaminya, lurus-lurus. Bahunya bergetar. Dan detik berikutnya, isaknya kembali tumpah. Berhamburan.

“Aku merindukanmu …,” desisnya. Angin dingin menerbangkan helai-helai surainya, namun ia masih bertahan, dalam dingin dan remang senja.

“Sayang, ayo pulang.” Di saat seperti ini, tidak pantas bagi sang ibu untuk menceramahi siapa pun yang tengah dirundung malang. Meski ada seribu alasan agar tegar, namun tak mau ia diktekan pada putrinya, karena ini bukanlah saat yang tepat.

Wanita muda itu beranjak dengan tak rela; bangkit lalu mengarah ke mobil dengan langkah tak rela.

“Bu,” ucapnya ketika mesin mobil sudah menyala, “aku ketinggalan sesuatu.”

“Biarkan saja, ini sudah gelap.”

“Tapi ini penting, Bu. Pemberian suamiku.”

Sang ibu mendesah, menyerah. “Ya sudah, kita turun dulu.”

Hendak dimatikannya mesin mobil, namun putrinya langsung menyela, “Aku cari sendiri saja. Ibu tunggu di sini.” Tanpa banyak kata, ia keluar dari mobil walau langkahnya sempoyongan. Kembali ke arah gundukan tanah tempat raga suaminya dibenamkan untuk mencari barang yang hilang. Bertemankan sisa nur redup surya, tak tampak jelas apa-apa yang ada di hadapannya. Ia hanya melangkah sambil menunduk, tanpa menyadari di hadapannya ada sebongkah batu besar dan lubang galian.

Ketika wajahnya mencium tanah merah, yang ia pinta masih sama: ia ingin semua ini hanya mimpi belaka, atau dirinya lekas lupa akan segala dukanya.


Ruangan putih yang sama, tanpa dokter, ibunya, atau orang banyak. Yang duduk di tepi ranjangnya adalah sang suami.

Wanita muda itu mengernyit, “Sayang?”

“Ya. Ini aku.” Lelaki yang sampai kemarin diyakininya sudah tiada, kini ada di hadapannya. Mengecup punggung tangannya mesra. Tersenyum padanya dengan lembut, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Dengan debaran memukul-mukul jantungnya, ia menyentuh wajah suaminya. Padat. Nyata.

“Kau masih ada?”

“Kau mimpi atau apa?” Lelaki itu terkekeh geli. Membuat dadanya terasa lapang.

“Syukurlah, Tuhan ….” Airmata haru merembes di pipinya. Yang kemarin itu hanya mimpi. Suaminya masih ada di sini, tak kurang satu apapun. “Mimpi yang sangat buruk,” jelasnya, “aku ditinggal sendiri olehmu.”

Lelaki itu masih memandanginya dalam-dalam, sambil tersenyum paham. “Lebih baik kau tidur lagi saja. Wajahmu masih pucat.” Jemarinya yang panjang mengelus-elus surai sang istri, pelan-pelan.

“Baiklah.” Wanita muda itu memejamkan matanya.

Jeritan dan garis-garis sinar itu datang lagi. Kepalanya dihantam lagi–berkali-kali oleh sesuatu yang tak mampu diidentifikasi. Lalu semuanya hening kembali.

Ketika pasien itu membuka mata, laki-laki berjubah putih yang sedari tadi menanti langsung menjalankan tugasnya. Memeriksa denyut nadi pasien, pupil mata, dan memberikan rangsangan berupa sentilan di dahi. Semua dilalui dengan normal.

“Ini berapa?” Laki-laki itu mengangkat lima jarinya.

“Lima.”

“Ini?”

“Dua.”

“Ini warna apa?”

“Putih.”

“Bisa tolong ambilkan aku pena di atas meja itu?”

Perempuan itu berpaling, mengambil pena dan menyodorkannya.

“Terima kasih. Sekarang, namamu siapa?”

“Lian.”

Dokter itu menarik napas. Ia keluar sebentar, lalu masuk lagi dengan beberapa anggota keluarga pasien yang masih berjaga.

“Kau kenal mereka?”

Wanita itu menyorot ketiga entitas itu, lalu mengangguk. “Ibu, Bibi dan Kakak.”

Helaan napas lega terdengar. Sang ibu tersenyum haru.

“Sepertinya tidak ada masalah yang krusial darinya. Semua bisa dijawab dengan baik.” Dokter menyimpulkan.

“Iya, Dok. Terima kasih.”

Sepeninggal dokter, sang ibu lantas menghambur, memeluk erat putrinya yang sekali lagi selamat usai ditimpa kesialan. Dengan penuh sesal, ia menyalahkan diri sendiri. “Harusnya Ibu mengikutimu mencari barangmu yang hilang di makam suamimu. Ibu menyesal, maafkan Ibu.”

“Suami? Aku punya suami?” tanya wanita itu kebingungan.

Keenam bola mata saling beradu pandang, turut bingung. Sampai akhirnya sang ibu tersenyum. “Oh, tidak. Kau salah dengar.”

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: