[CHSI] Catatan Hati Si Ijo

426 kata

AKHIRNYA, ia datang lagi. Penantianku selama setahun ini terealisasikan juga. Aku bahagia … sekali. Tempat tinggalku jadi ramai dan bersih. Dihias di sana-sini. Dipolesi cat sampai warna yang kusam jadi cerah kembali. Aku juga dimandikan dan dipakaikan pewangi.

Seperti kali-kali lalu, minggu pertama tempat ini selalu penuh. Bahkan, pihak pengelolanya sampai menyediakan tempatl ekstra di luar sana demi menampung beludak manusia. Ramai, penuh, sesak. Suara ‘aamiin‘-nya menggelegar bagaikan guntur di langit. Begitu Bapak Pembicara membuka sesinya, semua menunduk takzim. Mendengarkan dengan atensi penuh.

Tetapi aku tertegun begitu orang-orang itu berdiri. Mungkin tadi aku tidak memperhatikannya. Barisan di belakangku penuh namun tidak padat. Bagaimana mau padat, kalau badannya kecil tapi lembar-lembar kain terbentang selebar itu. Masing-masing memilih tetap berada di posisinya, enggan beringsut barang sekian senti mengabaikan perintah Bapak Pemimpin, “Lurus dan rapatkan ….”

Sayang sekali. Aku melihat di sela-sela itu diisi oleh sesuatu. Aku yakin ibu-ibu itu tidak bisa berkonsentrasi. Aku pun demikian.

Di minggu kedua, jamaah yang tadinya penuh sesak sampai meluber ke luar sudah agak merenggang. Tempat ekstra hanya terisi satu-dua baris. Dan kain-kain lebar serta tubuh-tubuh yang enggan merapat itu tetap jadi perhatianku. Entah kapan mereka mau sadar.

Sewaktu Bapak Pembicara memulai orasi, tiba-tiba suasana jadi hening. Aku memandang ke sekeliling. Ohlala …, Sebagian orang menutup mata. Sebagian yang lain masih mendengarkan sambil terantuk-kantuk. Sebagian lagi malah asyik mengutak-atik ponselnya. Aku jadi merasa sendiri. Ya, sendiri mendengar Bapak Pembicara bersuara.

Waktu terus berlalu, dan tibalah aku di pekan ketiga. Kini, jamaah hanya mengisi bagian dalam. Tetapi, tetap saja belum ada kesadaran buat merapatkan barisan. Sewaktu Bapak Pembicara naik ke podium, kudengar kasak-kusuk dari bagian belakang. Wah-wah …, rupanya ibu-ibu malah asyik bergosip soal kue dan baju lebaran.

Harapanku melihat barisan itu padat sebagaimana pada pekan pertama tidak juga terealisasikan, bahkan sampai akhir kedatangan dirinya. Semakin waktu berlalu, baris-baris manusia malah kian merenggang. Penghujung masa menyisakan satu-dua baris yang menyedihkan. Suara ‘aamiin‘ kudengar begitu lirih. Pertanda bahwa besok aku akan kesepian lagi di sini. Sendiri, menyaksikan Bapak Pemimpin mengimami sunyi. Sendiri, mengaminkan bacaan meski tidak terdengar makhluk lain. Sendiri, menghitung waktu dan menanti tahun depan datang secepatnya. Sendiri, mempertanyakan kapan mereka mau berubah. Kapan barisan itu lurus dan rapat seperti perintah Bapak Pemimpin. Dan kapan tempat ini penuh serta suara para laki-laki menggelegar sepanjang hari.

Entah kapan. Aku juga tidak tahu.

Ingin sekali kuteriakkan pada laki-laki di depanku dan perempuan di belakangku tentang semua ini, tetapi aku tidak bisa. Aku hanya selembar kain hijau yang jadi pembatas jamaah. Yang hanya dicuci setiap setahun sekali. Yang tidak punya mulut untuk berucap, apalagi suara untuk bicara.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s