Prompt: Noktah
Seisi kebun binatang kala itu gempar oleh berita hilangnya anak Bu Harmi, harimau galak yang biasanya suka mengaumi para pengunjung. Apabila pada kondisi biasa-biasa saja Bu Harmi seberingas itu, bisakah kau bayangkan bagaimana situasi kebun ketika ia mendapati kenyataan bahwa anaknya tidak ada di seantero tempat ini?
Para manusia yang berjaga harus merantai dan memerangkap Bu Harmi. Hari itu juga, kebun ditutup dari para pengunjung.
Aku menguap malas di sudut kandang. Suara Bu Harmi yang mengamuk tidak keruan benar-benar membikin kebun ini jadi semacam tempat orang kerusuhan. Kerugian yang kuperoleh lantaran kasus hilangnya anak Bu Harmi bukan hanya keributan yang tidak kusukai, tetapi juga memotong jatah pisang yang akan disuapkan ke dalam mulutku setiap kali aku melakukan atraksi di depan manusia.
Tidak cuma suara Bu Harmi atau derap kaki para pengawas kebun saja yang membikin berisik. Tetapi juga celotehan seluruh penghuni kebun binatang Semesta yang asyik bergosip ria.
“Kasihan sekali Harmi itu,” ucap Bu Jira, induk jerapah yang juga tengah bermalas-malasan.
Pak Crodi, buaya jantan menimpali, “Sesungguhnya saya ingin sekali merasa kasihan, tetapi mengapakah saya malah sedikit jengkel, ya?”
“Iya, ini menjengkelkan.” Kali ini si Snaki, ular sanca yang berkomentar, “Terlalu mendramatisir suasana, si Harmi itu. Padahal sebentar lagi juga para manusia akan membawa pulang Tigra.” Tigra itu nama anak Bu Harmi, omong-omong. Anak semata wayang. Saudara-saudaranya sudah mati duluan.
Aku berpindah dari terali ke terali, bergelantungan di atas sana karena bingung harus berbuat apa dalam mengisi suasana seperti ini.
Tidak lama selepas itu, langkah-langkah tegap para manusia berseragam masuk. Di tangan salah satu dari mereka sudah ada Tigra. Oh, syukurlah. Pisang-pisangku akan segera kudapatkan lagi.
Kusaksikan Bu Harmi sudah terdiam, mencoba menganalisis apakah yang datang bersama rombongan penyelamat hidupku itu benar anaknya atau bukan. Dan seketika terdengar salakan yang lebih dahsyat dibandingkan yang sebelum-sebelumnya.
“Dia bukan anakku! Kalian manusia penipu! Tigra-ku tidak punya bercak di perutnya!”
Aduh. Mana paham para manusia itu?
Aku turun dari teralis dengan lunglai dan merebahkan diri di lantai. Sepertinya untuk beberapa saat, belum bisa kusantap banyak pisang seperti biasanya. Malang nian aku ini.