Prompt: Tree
500 kata
Laki-laki itu akan tiba tidak lama lagi.
Sudah sepuluh kali aku melalui siklus pergantian musim sejak saat terakhir dia membesukku. Ini akan menjadi kunjungan keempat bila dia sungguhan datang. Ritual yang dilakukan saat tiga pertemuan berbeda-beda, sehingga aku tidak bisa menerka apa yang akan dia lakukan nanti.
Pada kunjungan pertama, dia datang bersama seorang wanita muda. Mereka berguling di atas rumput yang lembab, tertawa, dan mengguyurku dengan percik air. Katanya, agar aku tumbuh lebih baik. Mata keduanya saling bertubrukan, dan lisan mereka mengucapkan janji untuk hidup bersama dengan aku sebagai saksinya.
Kali kedua, dia datang bersama wanita. Orang yang sama, aku tahu kala mereka mengucapkan nama di depanku, seolah ingin aku tahu. Mereka tampak semakin kecil, ataukah aku yang semakin kekar? Tiada lagi guyuran air. Mereka hanya bersandar padaku, saling berpeluk, dan kubalas dengan perlindungan dari terik mentari.
Untuk ketiga kalinya ia membesukku, dia datang sendirian. Rambutnya mulai berganti warna, dan gurat-gurat wajahnya terlihat jelas. Sebelum aku bertanya-tanya ke mana wanita yang biasa menemaninya, dia terduduk di bawah naunganku, membuka-buka potret wanitanya pada sebuah album usang. Pelan-pelan, lisannya berbisik bahwa wanitanya sudah pergi, sambil mengelus foto nisan bertulis:
Rose
Lahir: 12 Desember 1950
Wafat: 28 Februari 2000
Saat itu kusadari bahwa wanitanya tidak bisa lagi menyertainya mengunjungiku.
Waktu adalah hal yang paling misterius sekaligus mengerikan semasa hidup. Dekat, tetapi jauh. Ia begitu lekat, namun tak tersentuh. Manusia bisa menciptakan kendaraan untuk berpindah ruang, sedang menjelajahi waktu hanya tergambar dalam angan. Sekuat apa pun ditahan, waktu akan terus berjalan. Dia tak peduli pada siapa pun yang tertinggal di belakang.
Kala itu, kulihat binar sorot matanya yang merindu, seakan ia melihat lagi peristiwa demi peristiwa yang sudah berlalu bersama wanitanya.
Angin musim dingin berhembus, namun aku tetap berpijak kukuh tak tergoyahkan. Bagiku, waktu bukanlah hal yang perlu kupikirkan meski lingkar tubuh yang menebal akan membuatku tahu tanpa repot aku memohon.
Berulang kali kusaksikan bungaku mekar, rumput-rumput semakin segar, lalu warna-warna berganti, namun tidak kutemukan perubahan berarti kecuali bila laki-laki itu datang ke mari. Aku menyadari perubahan yang dia tampakkan. Dan aku bertanya-tanya, perubahan dan kejutan apa yang akan kudapatkan darinya setelah sekian lamma tidak berjumpa.
Namun, dia tidak kunjung datang. Bahkan sampai gerimis semakin sering mengguyurku yang kukuh berdiri, tidak kutemukan dirinya mencuat menaiki bukit. Yang mampir ke tempatku hanya wanita asing yang membawa sehelai foto. Bukan fotonya. Bukan foto wanitanya. Bukan pula foto wanita asing itu. Foto yang serupa dengan yang dia elus pada pertemuan kami terdahulu. Hanya saja di sana ada tambahan nisan baru dengan ukiran:
Jack
Lahir: 24 April 1949
Wafat: 15 Januari 2009
Kemudian, aku tersadar bahwa laki-laki itu tidak akan pernah tiba. Tiada lagi yang akan menjenguk dan berteduh dalam perlindunganku sejak hari ini.
Kukenang pertemuan pertama dan kedua kami. Biarkan aku mengkristalkannya meskipun kereta waktu terus menjauh. Dan aku menjadi sosok yang tertinggal, sampai kelak aku binasa.