Tukar

Perempuan pertama masih terbungkus seragam putih abu. Pecahan tunggal dari dua darah biru yang pernah menggelegak, tapi tak lama kemudian reda, retak, dan terberai.

Si perempuan hidup bersama ayahnya yang jarang karib akan kata pulang, lantaran terlampau sibuk menggali sumur emas. Akibatnya, anak perempuan itu pun mengembara mencari rumah kedua. Dari teman ke kenalan teman. Dari kenalan teman ke kos-kosan. Menjadikannya akrab dengan lelaki haus selangkangan dan obat-obatan yang tak lazim. Tak perlu waktu lama, di perut perempuan itu tumbuhlah segumpal bayi. Takut dihabisi ayahnya, si perempuan melarikan diri.

Perempuan kedua saban hari pergi dan pulang sembari memikul beban. Sebab dirinya adalah sulung dalam ketidakberadaan.

Tiga adiknya perlu sekolah dan dikasih makan, sementara ayahnya cuma tukang tambal ban, sedang si ibu menadah cucian. Untuk cari tambahan, perempuan kedua berkeliling jualan perhiasan murahan. Dari emperan ke parkiran. Dari parkiran ke pinggir jalan. Sampai pandemi menghantam dan membuatnya kehilangan mata pencaharian. Frustrasi dengan keadaan, si perempuan melarikan diri.

Keduanya seumuran. Meniti benang yang berseberangan. Keduanya terjun dari jembatan pada hari yang berbeda. Sampai suatu ketika, tangan takdir yang mahaiseng memelintir keduanya di dunia penyeberangan.

Di tengah kepulan asap putih nan tebal, mereka dipersilakan masuk persidangan. Sosok-sosok berjubah putih tanpa wajah duduk di belakang meja besar, menanyai keinginan satu per satu. Rupanya mereka punya harapan yang saling bertolak belakang.

Perempuan pertama berharap dia hidup dalam keluarga harmonis. Yang kedua berharap dia datang dengan uang mengalir deras. Dari lubuk hati mereka yang terdalam, kematian bukanlah cita-cita sungguhan. Jadi, kepada keduanya, diberikan sebuah keputusan:

Kembali ke dunia, dengan kehidupan ditukarkan.

Perempuan kedua membuka matanya di ranjang putih penuh alat mutakhir. Begitu kabar kepulihannya yang tanpa cacat diberitakan, lelaki parlente asing langsung menerobos masuk dan menghadiahi tamparan untuk bayi yang tidak sempat dinamakan. Akan tetapi, perempuan kedua justru tersenyum senang. Di sini, tidak ada beban dan tuntutan untuk cari uang.

Perempuan pertama terbangun di sebuah ranjang putih biasa-biasa kemudian. Empat wajah asing menyeruak dan memeluknya penuh kerinduan dan kehangatan. Pakaian mereka compang-camping tak keruan. Akan tetapi, perempuan pertama justru tersenyum senang. Di sini, dia punya orang tua dan saudara yang menyenangkan.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s