G × G. 1600+ kata.
Peringatan: Cringe sampai sumsum tulang
EMPAT HARI LALU—saat kertas yang kini lecek akibat terlalu sering diremas itu tiba dalam genggamannya—kepalanya pun riuh mempertanyakan untuk apa ini.
Mengantre di bazar universitas yang menjual pernak-pernik keperempuanan sangat bukan Paula. Dia sendiri jijik membayangkan benda-benda itu menempel di bagian tubuhnya.
Jadi, Paula paham akan pandangan orang yang mengerutkan kening, memicingkan mata, pun memancarkan ekspresi bertanya dari sorot mereka, kendati tak berani menyuarakan apa-apa. Kehadirannya di sini sudah menjadi suatu tanda tanya.
Mereka mungkin ingin melisankan kalimat serupa:
“Ternyata suka benda-benda beginian juga?”
Paula tahu persis jawabannya apa. Tidak pernah, dan tidak akan pernah. Namun, kupon gratis-pilih-apa-pun-di-bazar-aksesoris-universitas-hingga-nominal-seratus-ribu yang dia peroleh sebagai pengunjung ke seratus, terlalu sayang untuk dijejalkan ke dalam kotak sampah.
“Boleh ditukar dengan hadiah lain, tidak?”
Pertanyaannya kala itu hanya menuju pada gelengan panitia.
“Kalau kamu tidak suka, kan bisa diberikan kepada adik perempuan? Sepupu? Keponakan?”
Sembarangan! Hampir semua orang di fakultas ini tahu, Paula tinggal sebatang kara. Dia anak tunggal, ayahnya yang abusif dan suka mabuk-mabukan mati karena alkohol bertahun-tahun silam, lalu ibunya menyusul setahun lalu akibat sakit tahunan. Hampir semua orang di fakultas ini tahu siapa Paula: atlet aikido berprestasi yang bisa berkuliah karena dibiayai perusahaan ayah temannya.
Saat itulah, tiba-tiba saja seberkas cahaya menyusup ke dalam benak Paula.
Tiba-tiba saja dia tahu, seperti apa kertas dalam genggamannya itu akan berperan.
Maka di sinilah dia sekarang.
“Kupikir kamu tidak akan menukarnya.”
Paula memasang wajah sedatar yang dia mampu, menahan diri agar tak mengeluarkan desisan atau bahkan memelototi penjaga loket—teman sekelasnya—yang barusan bersuara sambil terkekeh. Ia abaikan segala respons dengan mulai memilah-milih pernak-pernik itu; mengisi kepalanya dengan prakiraan apa yang cocok dipungutnya ke dalam keranjang, agar tiada sela untuk memikirkan tanggapan orang.
Paula memang tak suka pernak-pernik dan aksesoris. Dua daun telinganya bahkan tidak ditindik. Ia pun tak memiliki saudara untuk dihibahkannya. Namun, bukan berarti tiada seorang pun di dekatnya yang suka dan berhak menerimanya.
Pekan depan Lira akan pulang usai pertukaran pelajarnya setelah enam bulan. Memikirkan tawa Lira yang terlepas ketika hadiah kecil itu disodorkan Paula, tanpa sadar mengembangkan sudut bibirnya.
Bola mata Paula mencari-cari di tengah kerumunan manusia. Kacamata hitam ditolaknya naik ke atas rambut, sebelum kembali ditelitinya satu demi satu sosok di sana.
Dia mendesah. Gusar sebab debaran di dadanya meriuh dan enggan berhenti. Kesal sebab tiba-tiba dia yang tak pernah gugup sekalipun dalam pertandingan penting, kini malah gelisah dalam menanti.
Barangkali karena pesan Lira kemarin. Sahabat dekatnya mengirimkan banyak sekali pesan berisikan kalimat yang sama: ‘Aku kangen kamu. Tidak sabar mau lekas bertemu.’ Paula bisa membayangkan dua bola mata Lira yang jernih dan bercahaya itu berbinar-binar ketika mengirimkan pesan-pesan itu.
Itulah mengapa Paula meminta perkenan dari ayah Lira untuk menjemput sahabatnya sendiri, alih-alih menugaskan sopir. Ia ingin bertemu Lira secepat mungkin. Untungnya, pertemanan bertahun-tahun mereka kini menempatkan posisi Paula sebagai orang yang dipercayai.
Paula masih mencari-cari, ketika telinganya tahu-tahu menangkap lengkingan familier beserta derap langkah kaki mendekat itu.
“Paulaaa!”
Suara dengan kebanyakan huruf vokal itu milik Lira. Paula menoleh, menemukan sosok itu berlari ke arahnya, tampak semringah. Topinya sampai sempat jatuh karena kelewat kegirangan.
Paula lekas turut mendekat, membantu memangkas jarak antara mereka. Melihat antusiasme Lira yang irasional hingga tidak memperhatikan sekelilingnya sama sekali, Paula mendesis khawatir dan memperingatkannya.
“Hei, hati-hati.”
Kaki Lira yang berbalut boot bersol tebal berhenti semeter di depan Paula. Tubuhnya tampak mungil di dekat Paula yang saking tingginya sampai berjuluk ‘Jerapah’ sejak zaman sekolah menengah. Ia berdiri canggung, mengatur napas sambil memainkan tali tas selempangnya.
Namun, mata Paula menangkap selaput kaca di dalam kedua bola mata kecokelatan itu.
Dan sebelum sempat lisan Paula memuntahkan kata, Lira kembali melesat, menubrukinya dalam sekejap. Paula dijemput menuju satu pelukan erat yang membawakan kehangatan bagi tiap lapisan kulitnya.
“Aku kangen, kangen, kangen sekali … kamu tahu?” Lira melirih.
“Mmm,” Paula menggumam. Dia tahu itu. Itulah mengapa setiap tengah malam, dibiarkannya Lira berceloteh dalam panggilan video mereka, kendati pelupuk mata dan kepalanya jatuh diberati kantuk dan lelah akibat perbedaan zona waktu.
Tangan Paula merambat naik, menepuk dan mengelus-elus punggung berbalutkan mantel cokelat susu itu. Mereka tak pernah berpelukan seerat ini sebelumnya. Terakhir kali fisik mereka saling berengkuhan intim adalah ketika Lira terjatuh saat praktik lari di SMA, lalu Paula menggendongnya di punggung, membawa gadis itu ke klinik karena kakinya yang terkilir.
Paula ingin mengaku, ia pun sama rindunya. Ada yang meletup-letup di dalam dadanya kini. Membuncah seperti botol parfum pecah hingga wangi yang selama ini terperangkap kaca menguar ke udara. Apakah jarak yang memautkan mereka selama enam bulan untuk pertemanan enam tahun itu telah menghadirkan sensasi yang tidak biasanya?
Entah.
Tetapi yang Paula rasakan saat ini adalah keutuhan.
Seolah sebelah sayap yang tanggal kini tiba-tiba ditemukannya kembali, kemudian mengepak, bersiap untuk terbang mengelilingi angkasa.
Pelukan itu terlerai. Paula menangkup pipi Lira yang basah dan memerah. Jemarinya naik, mengusap basah itu, sambil mengatur napasnya sendiri yang berantakan karena debaran yang tak mau berhenti.
“Ayo, pulang.”
“Jangan dulu ke rumah. Aku mau bercerita. Banyak cerita. Kita jalan-jalan dulu, putar-putar di jalanan juga tidak apa,” ujar Lira, sesaat usai mereka daratkan tubuh di dalam mobil.
Paula mendengkuskan tawa kecil. Separuh senang separuh khawatir. “Kamu tidak kena hangover? Tidak lelah? Cerita kan, bisa nanti-nanti.”
Lira menggeleng. “Aku sudah tidur di pesawat, kok.”
Tak ada lagi bantahan. Paula tak mau membantah. Meski menggeleng-gelengkan kepala, diam-diam dia juga masih ingin bersama lebih lama.
Menawarkan dirinya pada ayah Lira untuk menjemput Lira bukan hal yang sulit. Kepercayaan lelaki itu atasnya sudah terjalin kuat. Namun, kali ini Paula ingin membangkang. Sekalipun ada kemungkinan ayah Lira akan menyalak padanya kalau tahu ia tak langsung membawa Lira ke rumah mereka.
Namun, siang itu mentari naik kelewat terik hingga Lira malah ogah-ogahan diajak keluar mobil. Jadi hanya makanan siap saji dan dua gelas kola dari drive thru yang menemani keduanya dalam mobil, bersama lantunan suara John Legend.
Paula mengawasi Lira makan sambil mengulum senyum.
“Kamu tahu apa yang kudapatkan dari perjalanan ini?” tanya Lira begitu meletakkan gelas kola kosongnya ke dasbor mobil.
Paula menatapnya. “Apa?”
Mata Lira berbinar cerah. “Kebebasan.”
Lalu Lira mulai berkisah tentang remaja di luaran yang sudah diperbolehkan keluar dari rumah sejak lulus sekolah menengah. Mencari arti hidup yang sesungguhnya, menerapkan segala hal yang selama ini dirangkum dalam kotak kaca bernama pembelajaran.
Paula masih meraba-raba ke mana cerita ini akan berlabuh, ketika Lira tiba-tiba membelokkan topik pada temannya yang berani mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan sesama jenis.
Ludah yang ditelan Paula kini berubah jadi sebongkah daging besar yang tidak sempat dia kunyah.
“Aku iri pada mereka yang punya kebebasan itu,” Lira bertutur. “Karena aku tidak bisa, sekuat apa pun keinginanku.”
Kelopak mata Paula mengerjap halus ketika Lira memandangnya. Atmosfer di dalam mobil tiba-tiba berubah.
Degup di dada Paula kembali berulah. Ada pertanyaan dan pernyataan yang menggelantung di lidahnya, tetapi tidak bisa dia suarakan. Tertahan oleh sesuatu yang entah apa. Mungkin ini yang orang namakan ketakutan. Mungkin ini yang orang namakan kesadaran.
Setelah lulus, ayahnya pasti akan menyuruh Lira menikah dengan salah satu anak koleganya, mengingat Lira tidak pernah sekali pun memperkenalkan laki-laki sebagai pacar ke keluarga. Satu-satunya yang berdiri di sisi Lira selama ini hanya Paula. Gadis jangkung dari keluarga miskin yang diberikan hak mendekati sang putri sebagai sahabat dekat.
Andai apa-apa mengenai mencintai tidak sekacau pasar pagi, yang membuat seseorang terdesak dan kehilangan sandal sebelah kiri hingga mustahil tak terluka saat mencoba lari. Andai apa-apa mengenai jatuh cinta tidak serumit tawar-menawar penjual dan pembeli, yang keduanya tidak akan berhenti berbantahan sampai salah satunya berani kehilangan. Andai apa-apa mengenai jatuh cinta hanya sesederhana saling mengerti …
Mungkin pintu kemungkinan itu akan terbuka.
Paula buru-buru berdeham, memutuskan kontak mata mereka dengan mengalihkan atensinya pada gelas di pangkuan yang sama kosongnya seperti pikirannya detik ini.
“Aku punya hadiah buat kamu,” katanya serak.
Sendu yang sempat menggelantung di mata Lira seketika tergusur. “Beneran? Apa?”
Sengaja, Paula ubrak-abrik kantung plastik di jok belakang dengan gerakan agak kasar. Bukan karena gusar. Hanya demi menghasilkan suara-suara berisik yang mengganggu hanya tidak untuk saat ini. Saat ini, suara-suara itulah penyelamatnya, karena sunyi terlalu jujur untuk menyuarakan rasa sakit itu di telinganya.
Kotak aksesoris itu disodorkannya ke hadapan Lira yang mengerjapkan matanya, terlihat terharu.
“Wah.”
“Ini dari bazar kampus, sih.” Paula meringis sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
Lira menerimanya, membuka isinya di atas pangkuan sendiri. Fokusnya terpatri pada benda-benda kecil itu, lalu dipungutnya seuntai kalung berliontin jerapah dengan hiasan butir permata palsu.
“Aaa … terima kasih! Aku mau pakai ini.” Gadis itu menyampirkan rambut ke pundak kiri, bersiap memasang sendiri, tetapi Paula bergegas mencegahnya.
“Jangan dipakai, kalau kalung emas putihmu terkontaminasi, bagaimana?”
Lira menunduk, menatap kalung lamanya yang masih menggantung di leher.
Tanpa pikir panjang, gadis itu menariknya hingga putus. Tindakan yang membuat Paula menjerit kaget, tak menyangka akan begini jadinya. Bola matanya memelotot horor menyaksikan Lira yang dengan entengnya menyusupkan kalung mahal itu ke dalam tas.
Namun, Paula membiarkannya. Justru karena melihat Lira kesulitan, gadis jangkung itu akhirnya menawarkan diri.
“Sini kupakaikan.”
Lira meliriknya, lalu mendekatkan tubuhnya. Sementara Paula mengambil alih kalung jerapah dari tangan Lira, memasangkannya di leher gadis itu.
Tidak ada napas yang menyapu permukaan kulitnya. Dari sana, Paula tahu, Lira menahan napas. Sama sepertinya. Dia khawatir, aroma tubuh Lira yang terhirup membuatnya patuh pada dorongan untuk merengkuh gadis itu lagi agar ia bisa terbang kali ini.
“Pernak-pernik yang harganya juta, malah kamu ganti dengan kalung murahan. Aku khawatir lehermu gatal-gatal karena alergi,” Paula bertutur, segera setelah membawa jarak mereka kembali.
Lira terkekeh sembari mengelus liontin jerapahnya. “Aku akan pakai terus sampai kalungnya berkarat, keropos, terus putus sendiri di leherku.”
Paula kewalahan menahan senyum. “Yang lainnya kuambil kembali, berarti?”
Gadis di hadapannya melotot garang. Ia jauhkan kotak aksesoris dari jangkauan Paula. “Enak saja! Ini kan sudah jadi punyaku.”
Kemudian, keduanya tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan, Paula tidak tahu. Dia hanya ingin tertawa saat ini, sebab melihat Lira tertawa membuat hatinya melapang. Dengan derai tawa Lira yang sama seperti tawa yang menjemputnya pertama kali setiap dia memenangkan pertandingan, Paula merasa segalanya akan lebih mudah untuk dijalani.