Prompt: Crown of Clown
Jumlah Kata: 500
Orasi Kepala Negara yang tertayang di layar-layar plasma tak lantas menjeda aktivitas. Bagi warga yang pantang mendengar, pidato hanyalah bualan belaka.
Bagi mereka, tak ada waktu untuk mencerna petinggi yang sejak lahir dinaungi atap pencakar langit tapi bicara soal kemiskinan. Yang sejak lahir terselubung selimut tebal dan vitamin-vitamin mahal nan protektif, tapi bicara soal penderitaan kaum pesakitan. Yang sejak lahir disuapi uang dan berlian, tapi bicara soal kelaparan.
Padahal Kepala Negara lagi berkhotbah tentang kebodohan.
“Itulah penyakit orang Imajinasia sesungguhnya. Kita ini bangsa besar. Tetapi sayang, kita terjajah karena kebodohan. Oleh kebodohan. Dan untuk kebodohan.”
Hanya segelintir yang peduli pada apa-apa yang disumbarkannya. Seorang Dosen Ilmu Tololologi, salah satunya. Ia termasuk pula yang mencibir. Begitu panas kupingnya tak lagi tahan mendengarkan, dibungkamnya televisi rumah dengan sekali klik.
Besok hari ia jemput dengan membawa topik ini ke hadapan para mahasiswanya.
“Tong kosong memang bunyinya nyaring. Orang yang pintar berkhotbah sebenarnya nggak cocok jadi pemimpin negara. Pantasnya jadi tukang khotbah saja. Gayanya membicarakan kebodohan, malah membuka boroknya sendiri. Apa-apa yang lahir dari mulut tanpa dikuasai otak, itulah kebodohan.”
Puluhan mahasiswa ekstensi adalah pendengarnya hari ini. Mereka yang masih ingin, atau harus belajar demi sehelai ijazah, secarik kemampuan ekstra, kenaikan gaji, atau pemenuhan prasyarat naik jabatan. Sekalipun usia bilang sudah saatnya berleha-leha.
Salah satu di antaranya, bapak-bapak botak yang berusaha keras menyembunyikan kuap. Baginya, tiada yang lebih lucu dibanding orang bodoh yang membicarakan tentang orang bodoh yang membahas kebodohan. Mungkin dunia memang telah dirambati kemunafikan.
“Boro-boro ngomong soal kebodohan,” ia berbisik pada teman sebelah. “Dikasih perempuan juga otaknya sendiri yang hilang.”
Lawan bicaranya perempuan beranak dua yang kini tertawa tanpa suara. “Kalau dia tahu kita pegang rahasianya yang suka main-main sama Betty, nangis dia kehehilangan segalanya.”
Sebab percakapan yang belum pula disadari pemilik kelas, wanita berkerudung di sebelah geleng-geleng kepala. Tak habis pikir akan mereka yang seenaknya menghujat orang lain berdasarkan sepotong pengetahuan. Apalagi banyak yang merasa mampu menumbangkan pohon besar, hanya dengan sebatang paku yang kebetulan ditemukan ketika nyaris terantuk.
Gatal juga lidah itu bersuara. “Kalian itu bodoh, ya? Betty bukan selingkuhannya, tapi teman putrinya. Putriku juga sekelas sama adik Betty di SMP-nya. Lagi pun, berita ini nggak akan bisa meruntuhkan image-nya.”
Kekesalannya terpelihara sampai saat tubuh itu dikerubuti asap knalpot khas jalanan sibuk. Yang baunya masih pula tercium oleh putrinya yang meringkuk di sudut, menunggui kedatangan sang Bunda dengan berita tentang keputusannya mengambil sekolah kejuruan.
Mata yang lelah akan kesumpekan dunia kini harus dipaksanya nyalang demi menghardik gadis remajanya.
“Kejuruan? Lalu apa? Pendidikan agama jauh lebih diperlukan. Dengarkan Bunda dan masuklah ke pesantren. Bunda yang paling tahu, apa yang terbaik untukmu.”
Yang paling tahu. Yang selalu tahu. Yang lebih tahu. Yang merasa paling tahu.
Suara cekikikan menggema di sepenjuru dunia. Sayang, semua manusia terlalu sibuk mendengarkannya, sebab lebih memilih mendengar isi kepalanya yang dirasa paling benar.
“Semua orang bodoh. Orang bodoh yang mengatai bodoh pada seseorang bodoh yang mengkritik orang bodoh. Terlalu sibuk mengulik kebodohan di luar sampai luput dari kebodohan di dalamnya. Tak menyadari bahwa ketidaksadaran akan kebodohan itu nyatanya kebodohan sendiri.”