Ingkar

Prompt: Nightmare
Jumlah Kata: 450

MATA MALA MASIH SENYALANG rekahan purnama. Padahal malam telah merenta. Bertemankan sunyi dan selusup keperakan yang lancang melalui jendela, Mala merajut dunianya.

Satu-satunya bunyi dilahirkan kala Mala menekan tombol-tombol, sementara kepalanya sendiri ramai akan suara-suara: debuman. Ledakan. Letusan. Jeritan. Derap kaki yang menjauhi kemalangan. Seruan anak-anak bersepuh serak dan sesak, mencari ibunya yang baru terkubur reruntuhan. Tangisan bayi dalam timangan selagi sang ibu berlari sebelum dibenamkan. Raungan ayah yang kakinya diratakan bersama tanah oleh batang pohon. Tumbukan mobil-mobil. Suara raungan. Suara kematian.

“Tragedi selalu menarik untuk dituliskan.”

Mala menggumam puas. Dunia yang diciptakanya telah berakhir kiamat. Tiada yang lebih melegakan daripada meratakan Bumi berikut penghuninya yang berlumur dosa.

Ia terperanjat kala maniknya menemui keterangan waktu. Bagaimana tidak? Sudah setengah tiga. Pantas saja pelupuknya serasa diduduki raksasa. Pertanda adrenalin yang memompa semangatnya telah susut dan surut.

Uluran tangannya pun membungkam lampu meja. Bersegera ia merayap ke atas ranjangnya yang dingin karena lama dikawinkan dengan angin.


Mata Mala sudah hampir terpejam. Namun, gerbang menuju kegelapan kembali mengecil dan menjauh. Justru angin malamlah yang mengencang dan mengusiknya. Walhasil Mala membuka mata, yang anehnya, kehilangan rasa kantuk. Ia merapatkan tubuh pada jendela guna merapatkan daunnya.

Tapi gerakannya terhenti di udara.

Di luar, angkasa tengah berperang. Awan hitam bergulungan menelan bulan. Sulur-sulur dari sisa cahayanya menciptakan pusaran. Mata badai itu menyedot pepohonan dan bangunan. Beberapa rumah terisap dalam kegelapan yang tak teraba.

“Tok … tok … tok ….”

Saat pintunya terketuk, Mala berada di persimpangan bingung dan ketakutan. Tiba-tiba, rumahnya turut berguncang. Lengan Mala terentang, menggapai apa saja yang bisa dijadikan tumpuan.

“Tok … tok … tok ….”

Ketukan di pintu berikut guncangan lagi-lagi bertandang. Kali ini, sang penulis muda tak mampu menahan kestabilan tubuh di tengah guncangan. Ia terjatuh.

Merangkak, Mala mencoba menjangkau gagang pintu, tapi langit-langit yang runtuh menjeda hasratnya. Mala memekik, bersegera menyingkir. Pandangannya disapu oleh debu bangunan.

“Tolong! Seseorang, tolong!” Suaranya gemetar.

“Tok … tok … tok ….”

Mungkin itu bantuan, pikir Mala sederhana. Ia menyelusur, berusaha mencapai gagang pintu.

Pintu berhasil terkuak, gantian pupil matanya yang melebar. Mala berada di tepian tebing. Ada beberapa sosok yang melayang, melambaikan tangan mereka dari kejauhan. Semuanya Mala kenal: Ibu yang memeluk bayinya. Ayah yang buntung kakinya. Anak-anak yang compang-camping.

“Kamu menciptakan kami, Penulis Terkasih. Kau beri kami hidup dan mati. Sekarang, giliran kami yang mengambilmu menyertai kami.”

Kalimat itu disampaikan dengan gema yang dekat, seolah berasal dari kepalanya sendiri. Mala tak paham banyak hal selain keinginan untuk meratap, “Bukan maksudku menjadikan kalian menderita.”

Suara Mala ditelan ledakan dari arah punggung. Tubuhnya terjungkir ke mulut tebing. Diiringi suara: tawa tokoh-tokohnya yang melayang di angkasa gelap.



BERITA DUKA

Telah berpulang ke alam baka, Mala Ika T., penulis, ditemukan meninggal dalam tidur karena serangan jantung.

Tinggalkan komentar