Kandang

Kabar bahwa akan ada angin panas sudah luas tersebar. Mengenai apa itu angin panas, bagaimana wujudnya, aku tidak tahu. Namun, selama panas merupakan lawan dari dingin, maka semua orang berpikir hidup kami terancam. 

Sinar kehidupan kami datangnya dari pisau besar yang menjulang di langit itu. Konon, ialah sang penjaga, pengatur, dan eksekutor, agar tubuh kami tetap berada dalam koridor normal. Kurang dari 100 satuan massa dianggap tak pantas menyandang status hidup. Lebih dari 100 satuan massa adalah ketamakan, sehingga sebagian anggota tubuh mesti dipotong dengan pisau itu untuk dikurbankan kepada kelompok kandang bawah. 

Tiga tingkatan kandang tak ubahnya pangkat atau kasta. Bawah, tengah, pongah. Di antara tiap tingkatan, lapisan es disematkan demi menyembunyikan jati diri antarkandang. Ada rahasia yang tak boleh sembarang diketahui kandang lain. Meski tentu di antara ratusan jiwa yang berkotek riuh, sudah banyak pengintip usil. 
Aku hidup di kandang tengah; tempat para medioker. Makan dari berak kandang pongah, berak jadi makanan kandang bawah. Kami cuma tahu isu bahwa kalangan bawah menyedihkan, dan kalangan pongah menyenangkan. Kami? Ya … biasa-biasa saja. 

Isu itu rupanya nyata. Pada bulan matahari, lapisan-lapisan es penyembunyi jati diri mencair duluan. Mata-mata di bawah pun menyala nyalang, menangkap kehadiran sosok-sosok pongah yang rupanya gendut-gendut semua. Oh, ternyata, gosip bukan cuma rekaan. Pisau eksekutor memang tidak adil menempatkan diri. Ia tajam ke bawah, tumpul ke atas. Apalagi kalangan pongah memiliki andil untuk mengatur kerja sang pisau suci yang ternyata tak sebegitu suci. 

Ribut, riuh, ricuh. Namun, kalangan pongah menolak acuh. Protesan kalangan tengah dan bawah tidak digubris sama sekali, meski sampai mengeluarkan ancaman pembakaran kandang. Alih-alih, penghuni kandang pongah justru kian mengasah pisau bawah dan menumpulkan pisau atas. Siapa pun yang berkotek tanpa dipersilakan, akan langsung ditebas. 

Berhubung kami sudah kalah jarak untuk sampai pada posisi pisau brengsek itu bersemayam, huru-hara pun kami redam. Tiada gunanya pula. Cuma setiap malam kami berdiskusi, bisik-bisik, kompak mengirim doa: semoga kalangan gembrot itu suatu saat kena karma. 

Doa kami rupanya didengar langit. Angin panas bukan satu-satunya bencana sengit. Guncangan gempa menghancurkan kandang-kandang, kami lari tunggang-langgang. Kalangan bawah yang paling gesit angkat kaki dari kehancuran. Kami menyusul kemudian. Namun, lihatlah di atas, bagaimana kalangan pongah kesulitan kabur karena ada begitu banyak beban memberati badan. Respons kami, bagaimana? Ya … bodo amat.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s