Prompt: Summer Bird
Jumlah Kata: 500
Kawan lama yang baru kujumpai setelah bertahun-tahun adalah sasaran ceritaku tentang dunia ini.
Dunia yang tebang pilih ini memang rumit. Dunia ini sakit.
Kupikir di tangankulah letak segala keputusan pelik. Sayang, bisikan-bisikan petinggi datang membuatku terobrak-abrik.
Akan tetapi, respons temanku berhasil membuatku berpikir.
“Rasa sakit kan proses kedewasaan.”
Kubenarkan, “Kupercaya itu sejak melihatmu kembali. Kamulah buktinya. Bukan cuma penampilanmu yang mendewasa. Akal budimu pun.”
Sekian tahun tidak bersua, sejenak tadi aku dipusingkan metamorfosa. Si jahil, pendek, dan kurus, kini berubah signifikan. Tinggi, bobot, dan kebijaksanannya mengkalikan diri dengan sukses.
Yang membuatku kian segan padanya adalah fakta bahwa ia baru saja kembali dan dinobatkan sebagai pahlawan negeri. Sekalipun untuk itu, dia harus kehilangan satu kaki.
Lalu tawanya mengudara bebas. Bagai burung yang lepas landas. “Selain kemelut internasional, ada pula kebodohan internal yang harus kuperangi sejak kehilangan kaki. Itulah yang paling rumit. Dan, aku menang.”
Sebuah buku tersodorkan di depanku.
Bolak balik kularikan atensi antara temanku dan buku yang kuterima. Mata dan mulutku melebar bersamaan. Judul ‘Bagaimana Aku Bangkit dari Kegelapan Usai Kehilangan’ beserta nama temanku yang mengikutinya sontak membuatku terharu.
“Kau berhasil.”
Temanku mengangguk samar. “Aku berhasil. Aku menang. Karena itulah bisa kutuliskan kisahku, biar dunia tahu. Siapa pun yang menang, dialah yang akan menuliskan kisahnya.”
Kalimatnya membuatku termenung. “Bagaimana dengan yang kalah?”
“Entah. Tapi tak ada orang gagal yang diangkut jadi motivator andal. Kalaupun ada, paling-paling setelah mereka menemui kemenangan untuk membayar segenap kegagalan terdahulu.”
Saat itu aku tercenung. Memikirkan dunia. Memikirkan kekalahan. Memikirkan orang-orang yang kalah dan berakhir dilupakan dunia.
Lalu sentuhan lembut di punggung tangan mengembalikanku di dunia nyata.
“Tanganmu adalah penentu hukuman dan penyelamat orang lain. Gunakan itu dengan cara yang bijaksana. Dan apa pun yang terjadi, kumohon, jangan menyerah. Jadilah orang yang bisa menuliskan sejarahmu sendiri.”
Kala itu kupikir kata-kata temanku salah sasaran. Tidak kumiliki potensi kekalahan dalam berbagai hal. Akalku berbudi, otakku cerdas, harta berkecukupan, hidup bahagia, tubuh sehat bugar, keluargaku damai, … sama sekali tiada yang mesti dikhawatirkan, selain bisik-bisik atasan yang melenakan.
Kala itu kulupa bahwa dunia selalu memberlakukan inversi. Bumi ini justru berjalan melalui perputaran. Tiada satu pun yang bertahan selamanya di puncak. Sebab tidak sampai dua tahun sejak pembicaraan itu, apa yang kutampik malah menampar hidupku sekaligus.
Penyakit moral yang melanda atasan-atasan di negeri ini nyatanya memang sudah parah. Pengidapnya memerangkapku dalam tuduhan salah. Aku difitnah lantaran menentukan pilihan yang merugikan kalangan atas. Mereka jebloskan aku dalam sel tahanan.
Ujungnya, keluargaku menjauh, sahabat karib melupakanku, uang di tangan lenyap bagai abu.
Dalam kehampaan, kumengerti kalimat-kalimat temanku. Ada badai yang riuh berputar dalam kepala, mengajakku larut bersama pusarannya. Bisiknya, ‘Inilah saat-saat yang pas untuk mengalah, atau mungkin pula menyerah’.
Aku berusaha memegang kalimat temanku seerat mungkin. Entah kesepian atau kesendirian yang mengajarkan untuk memekik dalam hening, aku sendirilah dalang dari prosa-prosa yang menggantung di lembah waktu tanpa jeda dan nama. Kutarik napas, bersama beberapa utas kertas dan alat tulis yang kumintai dari petugas, lalu mulai menorehkan kisahku di sana.
“Aku akan memenangkan ini.”
Tidak kuduga, peperangan internal ini ternyata jauh lebih menyeramkan.