Prompt: Tempat Terakhir
Jumlah Kata: 500
Beta terdiam di bawah teduhnya pohon akasia. Sedu sedan sekitar ditanggapinya dengan kebingungan.
“Mengapa semua orang menangis? Mengapa Kakek dibenamkan di dalam tanah? Bagaimana kalau Kakek kehilangan napas di dalam sana?”
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya jadi pertanyaan kosong. Tanpa jawaban. Mulut semua orang sedang sibuk menangis. Tiada yang sempat menyahutinya. Kebisingan membuat pertanyaannya tidak terdengar.
Tiada pula yang mencarinya ketika Beta menjauh, duduk di atas gundukan lain. Berbeda dengan milik kakeknya yang berpusara baru dan licin, yang satu ini tidak diberi nama pun bunga-bunga.
Saat itulah, Theta mendekat. Bajunya hitam sebagaimana baju semua orang di pekuburan. Dia bercakak pinggang, bolak-balik melirik Beta dan matahari yang memanggang mereka dari angkasa.
“Kenapa di sini?”
Beta mengangkat bahu. “Aku tidak tahu harus melakukan apa di sana.”
“Kenapa kamu tidak menangis?”
Lagi-lagi Beta mengangkat bahu. “Aku tidak tahu kenapa harus menangis.”
“Kakekmu meninggal! Semua orang menangis ketika kakeknya meninggal. Cuma kamu yang tidak.”
“Memangnya meninggal itu apa?”
Mulut Theta yang sudah bersiap membalas tiba-tiba mengatup rapat kembali.
“Meninggal itu …, ketika manusia mati lalu dikuburkan. Manusia yang mati tidak akan bersama kita lagi.”
Memikirkannya membuat Beta tiba-tiba merasakan sesuatu yang berbeda. Ada yang melesak dan mendesak dari dalam dadanya lalu tumpah melalui matanya, ketika membayangkan Kakek tidak lagi membacakannya buku cerita, memasakkan nasi goreng sederhana, atau main mobil-mobilan bersamanya.
Sejak saat itu, kematian selalu bermakna duka baginya. Ketika ayahnya meninggal, Beta menangis. Ketika ibunya meninggal, Beta juga menangis. Mungkin karena kehilangan seseorang yang selalu menemani kita itu menyakitkan. Memikirkan bahwa mereka tidak akan pernah lagi ada di sini itu memilukan.
Semua berubah ketika dia bertemu Zeta dalam pemakaman guru mereka di bangku SMA. Di antara puluhan anak wali yang hadir, Zet satu-satunya yang tidak menitikan air mata.
Anak itu memang cenderung aneh. Meski otaknya enter karena selalu mendapatkan peringkat satu, seisi kelas selain Beta tidak menyukainya. Menurut mereka, Zeta terlalu dingin, alien, dan tidak berperasaan.
Beta menjadi seperti Theta, mendekati Zeta demi menanyakan alasan di balik nihilnya tetesan duka yang menghiasi muka Zeta.
“Aku berduka. Tapi hanya berduka. Tidak perlu sedu-sedan sedemikian rupa.”
“Kenapa?”
Alih-alih menjawab, Zeta malah balik bertanya, “Memangnya menurutmu kematian itu apa?”
Dengan kening berkerut, Beta menyahut, “Kondisi akhir di mana manusia menemui batas usianya dan tidak lagi hidup?”
Zeta memandangnya remeh. “Begitulah jawabanku ketika aku masih berusia lima tahun.”
Tangan Beta terkepal. Rasa tersinggung memeluknya, mengingat di usia lima, dia justru belum mengerti apa-apa perihal kematian.
“Lantas di usia lima belas, menurutmu kematian itu apa?”
Wajah Zeta menengadah ke langit malam yang diselaputi awan mendung.
“Kematian bukan awal atau akhir. Hidup ini tidak pernah punya awal dan akhir. Yang ada hanyalah siklus. Bumi ini berputar. Kita pun berputar, dari tanah, kembali ke tanah. Bisa saja Bu Guru besok muncul di tengah-tengah kita, hanya saja dia dibuat lupa.”
Beta berdecih kesal. “Bicaramu seperti kau pernah mati saja.”
Yang mengejutkan, Zeta tertawa renyah. Seperti gema lonceng gereja yang memulai misa.
“Aku tidak pernah mati, tidak seorang pun. Tapi aku pernah melewati dermaga di mana orang-orang yang kausebut mati. Di dermaga itulah, kusaksikan, kita sebenarnya tidak memiliki akhir.”