1074 kata
SEUMUR HIDUP, SEPERTINYA aku tidak pernah peduli pada nama Mama. Dalam rekaman memoriku, nama itu serupa teman yang pernah kukenal sekali di masa lalu lalu kulupakan lagi karena tidak seberapa penting. Seolah telah diselaputi lumut dan kabut yang timbul saking tidak pernah kukunjungi.
Hingga tepat saat usiaku yang kedelapan belas lewat sehari, akhirnya Mama dan Papa memperbolehkanku memegang rekening sendiri. Mungkin ini terbilang terlambat bagi beberapa teman seumuran yang sudah memilikinya sejak masih duduk di bangku sekolah, sekalipun kedua orang tuanya masih perlu bertindak sebagai pengawas utama.
Penyebabnya satu: masa remajaku terlalu boros. Sekali diamanahkan sejumlah uang, nominal itu akan menggelincir, perlahan tapi mulus, ke dalam struk-struk pembelian minimarket yang sebagian besarnya berisi snack. Hingga tanpa kusadari, yang bersisa di tanganku hanya kenangannya semata. Berikut khotbah Mama yang setia mengiang, mengenai efek buruk micin bagi kinerja otakku yang malang.
Semalam pun telah mereka hujani aku dengan berbagai petuah dan nasihat perihal bagaimana menjaga keuanganku agar tidak deras pengeluarannya. Penyakit tipes dan amandel yang sempat tiba, mengeroyoki dan melunglaikan tubuh hingga membuatku nyaris tak sanggup mengikuti ujian sekolah, akhirnya kujadikan jaminan agar dapat dipercaya.
“Ma, Pa, Aku sudah kapok makan makanan bermicin hingga masuk kategori trauma.”
Selain sebagai kado pengulangan kelahiranku dan pertanda kedewasaan, tabungan takkasatmata jauh lebih diandalkan untuk bekal merantau. Perpisahanku dari sekolah menengah atas akan dirayakan sepekan lagi. Aku akan diluncurkan sebagai mahasiswa di kota sebelah, kurang dari dua bulan lagi.
Salah satu dari beberapa wanita berbusana rapi dan berpenampilan menarik, akhirnya menyebutkan nomor antrian yang kukantungi. Kududuk di hadapannya, menyambut senyum ramah nan formal yang ia lemparkan, membalasnya dengan sesuatu yang kuupayakan serupa. Ke hadapanku, disodorkan secarik formulir yang diharapkannya untuk kuisi.
Deret-deret kolom itu sebelumnya kuisi dengan lancar. Lebih lancar daripada prosesi membulatkan lingkaran identitas di kertas ujian.
Namun, tak kuduga, wanita yang mengecek formulir kemudian mengerutkan alis. Formulir disodorkannya kembali ke atas meja. Jemarinya yang dipoles ungu mengetuk-ngetuki kolom berterakan ‘Nama Gadis Ibu Kandung’ dalam irama konstan.
“Nama gadis ibumu …, Mama?”
Kukerutkan kening tak mengerti. “Ada yang salah?”
Wanita itu menggumam bingung. “Benar, itu namanya? Benar hanya Mama? Tidak ada nama tengah dan belakang? Setahuku, Mama itu hanya kata sandang umum untuk seorang Ibu.”
Udara dari pengatur suhu meniup kudukku aga kencang daripada semula. Membawakan hawa yang lebih rendah dari yang dirasakan kulit. Mungkin aku telah salah mengira dan salah menorah. Wanita di hadapanku tidak salah, Mama hanya sebutan karena Mama adalah mamaku.
Lalu, siapa nama Mama?
Pertanyaan itu menggelatung lunyai di benakku yang membal. Kuraih kembali formulir itu, sembari merogoh, menggali, mencungkili ingatanku lebih dalam,
Oh. Aku menepuk jidatku perlahan kala satu gagasan mencuat dalam kepala. Wanita di hadapanku memperbolehkan kala kutanya apakah ini boleh kukoreksi.
Alih-alih mengangguk puas, kemerut di kening wanita itu kian mengisut. Bibir bergincunya merengut, hidungnya berkerut. Ia mendesahkan dan menghela napas dengan kentara. Seolah tengah berusaha menarik secercah kesabaran dari udara bebas. Formulir yang tertambal kini kembali dihadapkannya padaku.
“Yang saya maksudkan nama ibumu, adalah nama lahir ibumu, Sayang. Bukan Mama siapa atau Nyonya siapa.”
Ucapannya mengalun begitu pelan, tetapi penuh tekanan. Aku memang menuliskan ‘Nyonya Rafael’ sebagai nama lain yang kuketahui sebagai identitas Mama. Nama yang kerap hadir dalam wujud sapaan dari teman-teman pengajian, arisan atau undangan-undangan untuk Mama,
Kedua mata di balik kacamata itu menatap jauh ke dalam mataku sendiri sejenak. Seolah sudah berada di batas kesabaran untuk menjelaskanku yang belum juga kunjung paham.
Mungkin karena menangkap ketidakmengertian dari pancaran mataku yang kelewat jujur merefleksikan perasaan, satu tangannya menyentuh punggung tanganku yang bergelung gugup di atas meja. Tangannya yang tersisa menggamit kartu identitas yang tersemat di saku bajunya.
“Seperti ini. Aku juga ibu satu anak. Di rumah, aku dipanggil Bunda, sama seperti mamamu yang dipanggil Mama. Aku juga dipanggil Nyonya Galih jika hadir sebagai pendamping suamiku yang namanya Galih, tapi semua itu bukan namaku. Lihat, ini namaku. Emilia Kirana. Mamamu pun tentu punya nama, seperti namamu, Karsa Rahayu, nama yang cantik. Bukan begitu?”
Kukerjapkan mataku akan semburan informasi yang tiba-tiba saja mengetuk kesadaran nan asing. Telah kurenungkan ini selama bermenit-menit hingga pantatku mencipta panas akibat kelamaan bertumpu dengan jok kursi yang kududuki. Namun, yang kutemukan hanya dua nama yang pernah kuketahui menjadi identitas ibuku. Mama, dan Nyonya Rafael.
Aku menggeleng cepat, melontar tawa gugup nan canggung. “Maaf. Aku … tidak tahu ….”
Dia terkejut. Kumaklumi. Jangankan dirinya, aku sendiri pun terkejut akan fakta bahwa aku meluputkan nama ibuku sendiri dari dalam ingatan. Manusia macam apa yang tidak tahu nama ibunya?
Seolah tidak mau membuatku tersinggung, dengan sikap profesional, wanita bernama Emilia lekas menguasai ekspresi dan intonasinya kembali. Membalutnya dengan ketenangan nan rapi.
“Kamu punya nomor telepon ibumu? Kami beri kesempatan untuk menghubungi ibumu, ya. Tanpa nama gadis ibu, rekeningmu tidak bisa dibuat.”
Baru kuketahui bahwa nama seorang ibu sebegitu krusial hingga dijadikan daftar pengaman wajib dalam kepengurusan keuangan. Aku pun tidak pernah tahu bahwa nama itu sebegitu trivial, hingga menggelincir jauh dari ingatanku, hilang seolah tak pernah membekas.
Mama mengangkat teleponku begitu cepat. Dia memang tidak pernah punya banyak pekerjaan selain mendekam di rumah dan menyelesaikan apa-apa di sana, dengan ponsel yang setia dikantungi ke mana-mana. Akan tetapi, ketika kusebutkan pertanyaanku yang terasa memalukan, bergelantunganlah jeda yang kurang nyaman di antara sambungan kami.
“Ma?”
“Maaf, Karsa Sayang. Mama juga lupa, siapa nama gadis Mama. Sebentar, Mama buka dulu kartu identitas Mama. Oh, nama Mama … Jamilah Widuri.”
Nama yang kudengar itu terasa asing untuk sejenak. Seolah memanggil kembali ingatan yang menahun berselimut lumut serta kabut, gemanya melontar bisikan dari logikaku yang bertanya, bagaimana bisa kulupakan nama yang pernah dituliskan kurang dari empat tahun lalu di atas buku rapor sekolah. Ada pertanyaan lain yang lebih penting dari itu: bagaimana bisa Mama melupakan namanya sendiri?
Mungkinkah karena Mama terlalu mendalami perannya sebagai seorang Mama dan Nyonya Rafael? Selama ini, yang melekat dalam rutinitasku adalah Mama yang menyiapkan sarapan untukku dan Papa. Mama yang menghadiri penerimaan rapor, dan berbaur dengan ibu-ibu teman sekolahku sebagai Mama Karsa. Mama yang menghadiri arisan persatuan istri kantor Papa, arisan keluarga, arisan tetangga, sebagai Nyonya Rafel.
Atau, apakah diam-diam, Mama pun sama sepertiku, yang menggemari micin, hingga kandungan monosodium glutamat yang katanya berbahaya itu melahap kemampuan kami dalam mengkristalkan memori-memori tipis?
Kututup sambungan, dan kutambal lagi kolom nama ibu dengan nama yang kudengar barusan.
Untuk kali pertama, Emilia Kirana, wanita di hadapanku ini, mengukir senyum yang tidak sebegitu formal. Gigi-giginya yang dipagari mencuat dari balik bibir bergincu sewarna darah yang merekah lebar.
Ia tampak lega, tapi sorot matanya memancarkan kasihan kala berucap, “Titip salam untuk ibumu, ya.”
>oOo<
Tinggalkan Balasan