“MANUSIA ADALAH bungsu tak berayah paling durhaka.”
Semesta buka suara di batas antara damai dan ramai.
Separuh jiwa yang dibicarakan lelap dalam sampiran maya. Saat suasana padam dari riuh yang meluputkan mamalia tegak berkaki dua itu dari asal muasal diri. Saat saudara yang semasa terang ditekan mundur, akhirnya berani unjuk gigi di kegelapan.
“Mereka memang kaum lupa. Lupa pada kerabat sendiri. Lupa bahwa mereka terlahir dari inang yang sama dengan sosok yang mereka hina. Lupa bahwa di alam sana, segala-galanya sama, sebab yang ada hanya ruh.”
Di titik lain, separuh yang tersisa melenggang angkuh dalam nyalang yang hedonis. Tongkat dan batu terpacak di lengan, sekali ayun menghantam kerabat sampai mati. Darah, tulang, kulit, gigi, daging kerabat dikuras dan disulap jadi selembar kertas tak berharga tapi diharga-hargai sendiri.
“Kasihan sekali dirimu, Bu Mi. Anak-anak tanpa ayah itu terlalu terlena pada apa yang mereka lahirkan, lalu lupa pada rahim yang melahirkan mereka.”
Atensi itu terpaut pada ibu kehidupan yang kini meregang sekarat. Suara rintihan dan batuk-batuknya tak pernah absen. Hanya si bungsu yang serempak tuli, akibat keterusan diperdengarkan omong kosong sendiri, tentang kekayaan, tentang kejayaan, tentang kerajaan, tentang kelayakan …
“Mungkin mereka tahu sekaligus lupa: mereka takkan pernah jadi piatu. Ya … sebab kematianmu adalah kematian mereka juga.”
Tanda-tanda sang ibu menjelma nekropolis sudah lama hadir. Hanya si bungsu-lah yang serempak buta, akibat keterusan dipapari mimpi kosong sendiri, tentang kekayaan, tentang kejayaan, tentang kerajaan, tentang kelayakan …
Kerimut mencuat di sepenuh tubuh. Rambut yang semula rimbun kini menyisakan jambul yang tak pula utuh. Telah semena-mena ia dugunduli bungsu yang dilahirkan demi kemaslahatan, tapi justru mewujud setan-setan. Punggungnya dilubangi pacakan gedung-gedung kehidupan. Kurap pencakar langit dicetak di banyak titik, dan akan terus diperluas lagi, memangkas habis kemulusan kulit yang semula mulus biru-hijau.
Maka benarlah. Manusia adalah bungsu tak berayah yang sedang menggali piatu dan pintu kebinasaan sendiri.
Diikutsertakan dalam Gerakan Menulis 30 Hari (Gerimis30Hari) Ellunar Publishing