KOTA KITA ADALAH kota mati. Di lorong-lorong yang gulita kutemui seonggokan sampah dari almari memorimu. Mereka yang dulunya sering kautimang sayang, kini usang usai kautendang buang.
Kupungut satu demi satu. Aku bebal. Berharap bisa kupintal lagi dan kukirimkan padamu kembali sebagai hadiah ulang tahunmu esok hari.
Namun, di penghujung senja, hadiah itu dikembalikan kurir.
Katanya, rumah penerima tertutup rapat sekali. Tidak ada pintu di sana.
Kuputuskan memastikan sendiri. Dan, aku tercengang sepanjang perjalanan ini.
Kotamu adalah puing sejarah yang sudah lama kering. Mengerontang jalannya, retak yang rekah, senantiasa merindu tumpah dan basah.
Genang kenangannya menguap. Sekalipun setiap menit kuteteskan rindu, dengan cepat ia lenyap tanpa mengendap. Seolah apa-apa yang kita jalani dahulu hanya sekilasan fatamorgana.
Maka, kutukar kadoku dengan segumpal awan, demi bisa basahi jalanmu agar tempiasnya sampai ke rumahmu.
“Tik … tik … tik …”
Akan tetapi, rupanya asaku kelewat miskin, hingga rinaiku tak sebegitu lebat. Hanya jatuh tirai gerimis yang tipis-tipis. Ketuk salamku di atap dan jendela kaca cuma bisik-bisik kerdil yang gagal tiba di telingamu. Sapaku tawar. Rinduku terpental. Sebab kaupilih lelap di balik selimut seorang diri, dipeluk mimpi yang kausulam tanpaku.
Kotaku adalah alur sungai yang alirnya padam sebentar lagi, diburu bara api murka. Rasa dan asaku terbakar sudah. Asapnya terangkut dan tersangkut di mata. Akhirnya, hujan jatuh dari sana. Deras. Berderai. Berderap, kutuntun kakiku menjauh dari rumahmu, lalu tersungkur di tepi kaliku.
Kemudian, kutemukan: aku bukan sebatas gerimis, setidaknya bagi diri sendiri. Biarlah lembab dan lantun lembutku kualirkan pada sungaiku, satu-satunya sumber kehidupan yang kumiliki kini. Lelahku untukku, tidak akan sesia-sia gerimisku bagimu.
Diikutsertakan dalam Gerakan Rutin Menulis 30 Hari (Gerimis30Hari) Ellunar Publishing